Ternyata Ini Akar Masalah Impor Bawang Putih
Berita

Ternyata Ini Akar Masalah Impor Bawang Putih

KPK tidak hanya melakukan penindakan kasus impor bawang putih, tapi juga kajian sebagai bagian pencegahan korupsi.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pencegahan kasus korupsi bukan hanya dari perkara yang belum masuk ranah penindakan. Namun dari kasus yang sudah ditangani, lembaga antirasuah ini melakukan kajian agar memperkecil peluang terjadinya praktik haram tersebut. 

 

Salah satunya dalam kasus impor bawang putih. Setelah melakukan tangkap tangan dan menetapkan 6 orang sebagai tersangka yang salah satunya merupakan anggota DPR RI, KPK melakukan upaya pencegahan kasus tersebut untuk menemukan dan menutup celah terjadinya korupsi. 

 

KPK tidak sendiri, mereka melibatkan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) IPB dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan mendengarkan penyampaian temuan lapangan terkait Kajian Kebijakan Impor dan Swasembada Produk Hortikultura Bawang Putih yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut.

 

Dalam acara yang dihadiri Pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Alexander Marwata, jajaran peneliti dari Direktorat Litbang KPK, serta Kepala PSP3 IPB Sofyan Sjaf dan Peneliti KRKP Hariadi Propantoko, akar masalah impor bawang putih akhirnya terungkap, yaitu mengenai penentuan kuota. 

 

“KPK menemukan terjadi potensi jual beli kuota. Karenanya, harus dicarikan mekanisme lain misalnya gunakan hukum pasar. Sehingga, harga akan terkontrol dengan sendiri untuk menghindari monopoli grup tertentu,” kata Syarif. 

 

Kajian bawang putih, baik yang dilakukan KPK maupun yang dilakukan PSP3 bersama KRKP dilatarbelakangi adanya tantangan dan persoalan komoditas bawang putih. Salah satunya, yaitu masih sering terjadinya fluktuasi harga bawang putih di pasaran, pemberian izin volume impor bawang putih yang tidak transparan dalam penetapannya, dan risiko terjadinya biaya transaksi.

 

Tim pengkaji PSP3 dan KRKP juga menemukan persoalan terkait tidak adanya data valid yang dimiliki oleh lembaga-lembaga terkait. Sehingga berimplikasi pada jumlah bantuan yang diberikan. “Kami coba sampling di satu desa. Luas penggunaan lahan di desa tersebut menurut BPS berbeda jumlahnya dengan hasil dari pengambilan citra desa dengan drone participatory mapping (DPM) menggunakan citra satelit,” ujar Kepala PSP3 IPB Sofyan Sjaf.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait