Ada Tren Positif Penggunaan Mekanisme Gugatan Sederhana
Berita

Ada Tren Positif Penggunaan Mekanisme Gugatan Sederhana

Cuma, cakupannya masih dibatasi. Ada pertanyaan yang perlu dijawab pengambil kebijakan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi mekanisme sederhana. Apanya yang 'sederhana'? Ilustrator: HGW
Ilustrasi mekanisme sederhana. Apanya yang 'sederhana'? Ilustrator: HGW

Penggunaan mekanisme gugatan sederhana untuk menyelesaikan sengketa perdata bernilai kecil sebenarnya dapat mengurangi hambatan dalam berusaha. Jika hambatan itu berkaitan dengan sengketa antara pekerja dan pengusaha bernilai 300 juta, gugatan sederhana mungkin dapat menjadi pilihan. Tetapi persoalannya, tidak semua sengketa yang bersifat keperdataan bisa diadili menggunakan small claim court (SCC).

Ada pembatasan-pembatasan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Pasal 3 ayat (2) Perma menegaskan yang tidak termasuk gugatan sederhana adalah perkara yang penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan khusus, atau sengketa hak atas tanah. Sengketa hubungan industrial diadili di Pengadilan Hubungan Industrial, salah satu pengadilan khusus di bawah lingkungan peradilan umum.

Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) juga pernah mengkritik gugatan sederhana karena tidak dapat dipergunakan dalam sengketa ekonomi syariah yang nilainya kecil. Lewat Perma No. 4 Tahun 2019 nilai maksimal sebenarnya sudah dinaikkan menjadi 500 juta rupiah.Toh, tetap saja ada pertanyaan dan kendala yang muncul di lapangan. Setidaknya, begitulah yang diungkapkan sejumlah pemangku kepentingan ketika berlangsung diskusi terbatas mengenai optimalisasi pengaturan gugatan sederhana di Jakarta, Jum’at (6/12) lalu.

(Baca juga: APSI Anggap Perma Gugatan Sederhana Diskriminatif).

Dilihat dari perkembangan di pengadilan, sebenarnya ada tren positif. Data yang dihimpun tim konsultan International Development Law Organization memperlihatkan pertumbuhan eksponensial yang dapat dimaknai adanya kebutuhan pada mekanisme gugatan sederhana. Pada 2015, ketika mekanisme gugatan sederhana diperkenalkan ada 13 perkara. Pada tahun berikutnya, meningkat tajam menjadi 762 gugatan, dan terus naik menjadi 3.351 pada tahun 2017, dan 6.464 pada 2018.

Itu sebabnya, dukungan terhadap mekanisme ini datang dari banyak kalangan karena dianggap dapat menopang kemudahan berusaha. Advokat Ahmad Fikri Assegaf, misalnya, mengungkapkan dukungannya atas Perma dalam sebuah diskusi di Jakarta, Agustus lalu, “Perma ini dapat mengatasi masalah lamanya proses peradilan perdata, sehingga mendukung kemudahan berusaha,” ujarnya.

(Baca juga: Perma Gugatan Sederhana Dinilai Topang Kemudahan Berusaha).

Pertumbuhan eksponensial jumlah gugatan sederhana, di satu sisi menunjukkan tren positif dan kepercayaan para pemangku kepentingan; namun di sisi lain tidak menjamin prosedur atau mekanismenya tanpa kelemahan. Pertanyaan mendasar yang dikemukakan advokat dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Julius Ibrani, misalnya. Bagian manakah yang sederhana dalam mekanisme gugatan sederhana itu: biaya, prosedur, pembuktian, atau yang lain? Idealnya kesederhaan itu dapat dilihat pada semua sisi.

Sebutlah contoh eksekusi. Berdasarkan praktek selama ini, eksekusi putusan dari gugatan sederhana justru tak sesederhana yang dibayangkan. Ketika di pengadilan pun sudah memakan waktu. Seharusnya para pihak sudah mendapatkan salinan putusan sesaat setelah putusan dibacakan, sebagaimana sidang di Mahkamah Konstitusi. Eksekusi masih memakan waktu, apalagi jika sengketa terjadi di daerah yang wilayah geografisnya kepualauan.

Masalah lain yang mengemuka dalam implementasi SCC di pengadilan adalah keadilan. Misalnya jika dalam sengketa itu ada kepentingan pihak ketiga yang terkait? Perma menyebutkan bahwa para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama. Apakah jika ada pihak ketiga yang kepentingannya tersangkut langsung, maka mekanisme gugatan sederhana tidak dapat digunakan?

Demikian pula hukum acara persidangan. Dapatkah para pihak mengajukan ahli, sehingga menambah waktu persidangan? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena selama ini para pemangku kepentingan belum satu suara tentang cakupan ‘kesederhanaan’ dalam gugatan sederhana (waktu, biaya, tata cara, pembuktian, eksekusi).

Para pengambil kebijakan yang akan menentukan. Apalagi materi tentang SCC ini akan masuk ke dalam RUU Hukum Acara Perdata yang kini lagi disusun.

Tags:

Berita Terkait