Mengukur Aspek Pajak dari Pertambangan Batu Bara
Berita

Mengukur Aspek Pajak dari Pertambangan Batu Bara

Di tengah meningkatnya laju produksi, sumbangan pajak dari sektor batubara diharapkan mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Mengukur Aspek Pajak dari Pertambangan Batu Bara
Hukumonline

Sebagai salah satu produsen dan pengekspor batu bara terbesar di dunia, dibukanya pertambangan sebagai jalur investasi luar negeri turut meningkatkan keran produksi, ekspor, dan penjualan batu bara Indonesia. Setidaknya, ada beberapa faktor pendorong peningkatan produksi dan ekspor batu bara di Indonesia, seperti kualitas cadangan yang melimpah dari level menengah hingga rendah, upah tenaga kerja yang rendah, serta harga jual yang kompetitif. Di samping itu, posisi geografis Indonesia yang strategis juga turut berkontribusi pada kemudahan proses pemasokan batu bara ke negara-negara berkembang yang telah menggunakannya sebagai pembangkit tenaga listrik.

 

Pemberlakuan pajak pada industri batu bara sendiri tidak lepas dari sejarah perkembangan bentuk perjanjian antara pemerintah dan para pengusaha batu bara. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan misalnya—merupakan awal bentuk perjanjian berupa kontrak karya atau dikenal dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Adapun tata cara pungutan untuk Pajak penghasilan (PPh)  dan Pajak pertambahan nilai (PPN) mengikuti ketentuan perpajakan dalam Kontrak Karya atau PKP2B.

 

Pada Februari 2009, ketetapan baru UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, bentuk perjanjian karya yang ada, menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Izin ini memiliki konsekuensi terhadap pengenaan pajak menggunakan sistem prevailing, dalam hal ini, undang-undang perpajakan.

 

Aspek Pajak Batu Bara

Pada 2009, ada kenaikan yang signifikan, bahkan mencapai lebih dari 200 persen pada produksi batu bara. Sebagai perbandingan, jika pada tahun 2000 sejumlah 77 ton, pada 2009—jumlah ini meningkat menjadi 256 ton. Pada akhirnya, laju produksi yang meningkat ini diharapkan dapat menambah sumbangan pajak dari sektor batu bara.

 

Sayangnya, di tahun 2019 penerimaan pajak sektor tambang mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh pelemahan dan ketidakpastian ekonomi global yang berdampak pada menurunnya harga sejumlah komoditas tambang, termasuk batu bara. “Banyak masalah yang dihadapi oleh pengusaha tambang, sehingga berimbas pada kemampuan membayar pajak. Demikian pula dengan status operasi perusahaan pemegang PKP2B yang akan berakhir masa kontraknya. Apakah ini kembali menjadi tidak jelas and what’s the next?” tutur Presiden Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI), sekaligus Dewan Pakar Himpunan Konsultan Hukum Pertambangan Indonesia (HKHPI), Joyada Siallagan, dalam acara Bimbingan Teknis Dasar Konsultan Hukum Pertambangan HKHPI pada 7 Desember 2019 lalu.

 

Dalam acara tersebut, Konsultan Pajak MGI World Wide, Henny Hutapea selaku narasumber, menyampaikan, sebenarnya masih ada upaya lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah. “Pemerintah dapat meningkatkan penerimaan pajak sektor tambang dengan melakukan reformasi perpajakan, terutama terhadap PPh Badan generasi pertama yang masih dikenakan tarif hingga 45%,” kata dia.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Ikatan Kuasa Hukum & Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI).

Tags:

Berita Terkait