Wrongful Conviction, Masalah dalam Penegakan Hukum Pidana
Berita

Wrongful Conviction, Masalah dalam Penegakan Hukum Pidana

Korban salah hukum dapat mengajukan kompensasi ke pengadilan. Bentuknya: gugatan atau permohonan?

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Delphine Lourtau (tengah menghadap kamera) dan Angerah Rizky Akbar (kanan, menghadap kamera) dalam diskusi di STHI Jentera, Jakarta, Rabu (11/12).  Foto: MYS
Delphine Lourtau (tengah menghadap kamera) dan Angerah Rizky Akbar (kanan, menghadap kamera) dalam diskusi di STHI Jentera, Jakarta, Rabu (11/12). Foto: MYS

Error in persona dapat dengan mudah terjadi dalam proses penegakan hukum yang mengandalkan pengakuan secara paksa. Kesalahan menghukum orang terjadi di banyak negara, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Amerika Serikat. Penjatuhan hukuman terhadap orang yang salah telah lama menjadi perhatian. Itu sebabnya, dalam hukum dikenal adagium: lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.

Delphine Lourtau, Executive Director of the Center on the Death Penalty Worldwide Cornell University Law School mengatakan penjatuhan hukuman kepada orang yang tidak bersalah (wrongful conviction) telah lama menjadi perhtaian banyak kalangan hukum, termasuk di Amerika Serikat. Acapkali kesalahan itu baru terungkap berpuluh tahun setelah hakim menjatuhkan vonis. Ini terjadi karena tidak mudah mengungkap dan membuktikan terjadinya kesalahan, dan vonis hakim dipengaruhi juga proses-proses hukum sebelumnya.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya wrongful conviction. “Taktik interogasi polisi yang memaksakan pengakuan tersangka, misalnya,” ujar Delphine dalam diskusi yang digelar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera di Jakarta, Rabu (11/12) kemarin. Interogasi dengan cara memaksa dan kekerasan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka justru dapat membuka peluang kesalahan. Sebab, tersangka mungkin memilih untuk mengaku meskipun perbuatan yang dituduhkan dilakukan orang lain.

Wrongful conviction menimbulkan masalah yang lebih pelik jika terdakwa dijatuhi hukuman mati. Apalagi jika kesalahan baru terungkap setelah eksekusi mati dijalankan. Maka, menurut  Delphine, harus ada upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan penjatuhan hukuman.

(Baca juga: Jaksa Anggap Putusan WN Nigeria Bukan Error in Persona).

Salah satu contoh yang menimbulkan perdebatan di Amerika Serikat adalah kasus Craig Coley. Pria kelahiran Juni 1947 itu dibebaskan dari penjara Simi Valley California setelah mendekam selama 39 tahun dalam kasus pembunuhan Rhonda Wicht dan anaknya berusia 4 tahun Donal Wicht. Coley dituduh sebagai pelaku karena pernah menjadi pacar Rhonda selama dua tahun. Hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan. Belakangan berdasarkan tes DNA (deoxyribonucleic acid) terungkap bahwa Coley bukan pelaku sebenarnya.

Diawali oleh investigasi ulang oleh aparat kepolisian, Gubernur California, Jerry Brown, akhirnya memerintahkan pembebasan Coley pada November 2017 lalu. Pada Februari 2018, Coley mendapatkan kompensasi sekitar 294 miliar rupiah atas kekeliruan penjatuhan hukuman tersebut.

Dosen hukum pidana STHI Jentera, Anugerah Rizky Akbar, mengatakan wrongful conviction juga terjadi di Indonesia. Pada 2014, misalnya, muncul kasus Dedi, seorang pengojek yang dituduh membunuh seorang supir angkutan umum. Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukumnya dua tahun penjara. Namun di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan Dedi bukan pelaku pembunuhan. Senada dengan Delphine, Akbar menyebutkan proses penyidikan di kepolisian ikut berperan menyebabkan kesalahan penghukuman.

Tags:

Berita Terkait