Mensinergikan Pro Bono dan Bantuan Hukum bagi Advokat
Utama

Mensinergikan Pro Bono dan Bantuan Hukum bagi Advokat

Organisasi profesi advokat diharapkan lebih aktif turut campur tangan pengawasan pelaksanaan pro bono para advokat yang terdaftar. Selain itu, organisasi advokat aktif bekerja sama dengan pemerintah, OBH, organisasi masyarakat lain agar pelaksanaan pro bono dan bantuan hukum meningkat dan menjangkau masyarakat yang membutuhkan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber dalam Konferensi Nasional Pro Bono dan Hukumonline Awards 2019 Pro Bono Champions bertajuk 'Konsep Pro Bono dan Perkembangannya' di Hotel Bidakara Jakarta, Rabu (11/12/2019) malam. Foto: RES
Sejumlah narasumber dalam Konferensi Nasional Pro Bono dan Hukumonline Awards 2019 Pro Bono Champions bertajuk 'Konsep Pro Bono dan Perkembangannya' di Hotel Bidakara Jakarta, Rabu (11/12/2019) malam. Foto: RES

Selama ini konsep pro bono (layanan jasa hukum gratis) - yang dijalani profesi advokat yang dipahami sebagai kewajiban profesi - belum memiliki aturan baku. Faktanya, dari sekian banyaknya organisasi advokat di Indonesia dan menghasilkan advokat baru yang telah disumpah, namun masyarakat pencari keadilan yang menerima bantuan hukum cuma-cuma ini jumlahnya masih belum bertambah.

 

Permasalahan ini mengemuka dalam diskusi terarah dalam Konferensi Nasional Pro Bono dan Hukumonline Awards 2019 Pro Bono Champions bertajuk “Konsep Pro Bono dan Perkembangannya” di Hotel Bidakara Jakarta, Rabu (11/12/2019). Hadir sebagai narasumber perwakilan PERADI SAI Frasisca Romana, perwakilan PPKHI Budi Yuwono, dan Partner Situmorang & Partners Veronica Situmorang.      

 

Dalam paparannya, Fransisca Romana mengatakan praktik pelayanan bantuan hukum pro bono lahir dari sebuah pemikiran bertahap sesuai perkembangan sosial kemasyarakatan. Awalnya, konsep pro bono bagian dari profesi advokat berakar dari pendekatan kewajiban moral yang terus bertransformasi menuju kewajiban profesional. Kemudian, dalam tataran kebijakan, pro bono muncul dalam dua pendekatan yakni pro bono sebagai kewajiban advokat dan pro bono sebagai kesukarelaan advokat.

 

“Jadi, pro bono disebut pelayanan (jasa hukum gratis) secara mandatory (kewajiban) atau voluntary (kesukarelaan),” kata Fransisca dalam diskusi Konferensi Nasional Pro Bono dan Hukumonline Awards 2019 Pro Bono Champions di Hotel Bidakara Jakarta. Baca Juga: Anggaran Minim, Advokat Jangan Berharap pada Program Bantuan Hukum Pemerintah

 

Dia menerangkan prinsip mandatory pro bono sebagai syarat kewajiban advokat dan prinsip voluntary pro bono sebagai sukarela, lebih menekankan pro bono sebagai tindakan amal. Karena itu, pro bono seharusnya jangan dianggap sebagai beban untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, melainkan bisa dijadikan arena latihan bagi advokat dalam mengasah keterampilan dan pengetahuan hukumnya terutama masyarakat yang kurang beruntung.

 

“Jadi mana yang lebih setuju pro bono mandatory atau voluntary? Tapi, saat ini semakin banyak organisasi advokat, hampir setiap minggu ada sumpah advokat namun bantuan hukum untuk masyarakat miskin dan termarginalkan juga tidak bertambah-tambah,” ujarnya.

 

Fransisca menyoroti pemahaman pro bono bagi masyarakat termarginalkan dan masyarakat miskin. Ternyata, kata dia, selama ini pengertian termarginalkan masih dimaknai secara sempit. Masyarakat termarginalkan bukan hanya diartikan orang-orang yang tertindas dan pengertian miskin bukan hanya diartikan benar-benar orang-orang yang tak memiliki harta atau benda saja.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait