Indonesia Gugat Uni Eropa Soal Diskriminasi Kelapa Sawit di WTO
Berita

Indonesia Gugat Uni Eropa Soal Diskriminasi Kelapa Sawit di WTO

RED II dan Delegated Regulation mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Konflik panas antara Indonesia dengan Eropa soal diskriminasi kelapa sawit terus berlanjut. Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), pada 9 Desember 2019.

 

Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.

 

"Indonesia resmi mengirimkan Request for Consultation pada 9 Desember 2019 kepada UE sebagai tahap inisiasi awal dalam gugatan. Keputusan ini dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi/pelaku usaha produk kelapa sawit dan setelah melalui kajian ilmiah, serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya," ungkap Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam keterangan persnya, Minggu (15/12).

 

Menurut Mendag, gugatan ini dilakukan sebagai keseriusan Pemerintah Indonesia dalam melawan diskriminasi yang dilakukan UE melalui kebijakan RED II dan Delegated Regulation. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit. Diskriminasi dimaksud berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.

 

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana menjelaskan, melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai tahun 2020 hingga tahun 2030 penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui.

 

Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.

 

"Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global," ujar Wisnu.

Tags:

Berita Terkait