Mendapat Apresiasi, Jaksa dan Hakim Kabulkan Permohonan Restitusi
Utama

Mendapat Apresiasi, Jaksa dan Hakim Kabulkan Permohonan Restitusi

Hakim juga mengabulkan permohonan restitusi. Berguna sebagai salah satu sarana untuk memulihkan korban.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi korban kejahatan pidana. Ilustrator: HGW
Ilustrasi korban kejahatan pidana. Ilustrator: HGW

Keputusan jaksa untuk memasukkan tuntutan restitusi dalam rekusitor kasus kekerasan seksual dan perdagangan orang, yang kemudian diterima hakim, mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan. Di Sumatera Barat, jaksa Dwi Indah Puspa Sari memasukkan tuntutan restitusi yang harus dibayarkan terdakwa kepada saksi korban, dan tuntutan itu diterima hakim.

Pengadilan Negeri Padang, Sumatera Barat, telah mengabulkan tuntutan restitusi yang diajukan jaksa untuk memulihkan hak-hak korban. Majelis hakim beranggotakan Lifiana Tanjung, Gustiarso, dan Agus Komaruddin, memang hanya mengabulkan restitusi sebesar 50 juta rupiah. Jaksa meminta restitusi sebesar Rp194.125.000. Tetapi masuknya restitusi dalam tuntutan jaksa, dan dikabulkan hakim, sudah mendapat apresiasi dari LBH Padang dan  Nurani Perempuan. “Kami, LBH Padang dan WCC Nurani Perempuan, mengapresiasi tindakan jaksa penuntut umum dan majelis hakim Pengadilan Negeri Padang atas pemberian restitusi bagi korban. Ke depannya, kami berharap putusan ini dapat menjadi contoh baik penegakan hukum yang memulihkan korban,” demikian pernyataan resmi kedua lembaga itu yang diterima hukumonline.

Pengacara LBH Padang, Indira Suryani, menambahkan pihak menaruh perhatian pada pengakuan restitusi baik di level penuntut umum maupun majelis yang memutus. Indira dan sejumlah aktivis sudah menemui Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat untuk mendorong agar penegakan hukum yang berorientasi pada pemulihan korban diterapkan di tingkat Kejaksaan Negeri. Pada tataran praktek, masih ada kelemahan yang perlu ditutupi. “Mereka menerima konsep restitusi, tapi masih banyak kelemahan,” ujarnya kepada hukumonline.

(Baca juga: Penolakan Permohonan Restitusi dan Tantangannya di Peradilan Pidana).

Jaksa mengajukan restitusi untuk biaya pemulihan fisik korban, biaya kehidupan social, bantuan pendidikan anak, dan perawatan medis, serta perawatan psikologis korban. Dalam kasus ini, terdakwa melakukan perkosaan terhadap perempuan yang menjadi saksi korban. Permohonan restitusi yang diajukan jaksa bukan tanpa dasar. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana, restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau immateril yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi merupakan upaya pengembalian hak-hak korban yang hilang akibat dari terjadinya kejahatan yang mesti dipulihkan.

Maka, putusan PN Padang pada 3 September lalu menjadi angin segar di tengah banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan. Catatan Tahunan Nurani Perempuan (2016-2019) menunjukkan ada 395 perempuan dan anak korban kejerasan yang langsung melapr ke Nurani Perempuan. Selama periode Januari-November 2019, ada 93 korban yang melapor, 42 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Dari jumlah itu, sekitar 67 persen korban tindak pidana itu adalah usia anak.

Pelaksana Direktur Nurani Perempuan, Rahmi Meri Yenti, juga mengapresiasi putusan karena menjadi bagian dari pemenuhan hak-hak korban. Putusan ini penting karena sepengetahuan Meri, ini putusan pertama pengadilan mengabulkan restitusi bagi anak korban kekerasan seksual di Sumatera Barat. Nurani Perempuan, lembaga yang mendampingi korban, terus berusaha meyakinkan jaksa dan hakim bahwa korban harus dipulihkan, dan pemberian restitusi itu adalah bagian dari pemulihan. “Itu bagian dari pemulihan korban,” ujarnya kepada hukumonline, Selasa (17/12).

Dalam proses penegakan hukum, acapkali anak korban tindak pidana tidak mendapatkan pemulihan. Negara lebih fokus pada upaya memenjarakan pelaku kekerasan seksual ke jeruji besi dan menjadi pesakitan. Padahal nasib korban juga harus diperhatikan. Tindak pidana kekerasan seksual yang dialami anak-anak mungkin sulit hilang dalam sekejap. Kekerasan seksual meninggalkan trauma psikis yang sangat panjang dan terkadang juga luka fisik dan medis. Kadangkala juga berdampak pada permasalahan lainnya seperti harus evakuasi ke tempat yang lebih aman, dan orang tua harus mengubah pekerjaan.

Tags:

Berita Terkait