BKPM Usul Aturan Fee Kurator Diubah
Berita

BKPM Usul Aturan Fee Kurator Diubah

Fee kurator dianggap terlalu tinggi. Perlu ada fleksibilitas agar lebih berpihak pada pelaku usaha.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Foto: MJR
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Foto: MJR

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menginginkan perubahan aturan mengenai biaya jasa atau fee bagi kurator dan pengurus dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepalitan. Peraturan yang tercantum dalam  Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 11/2016 tentang Pedoman Imbalan Jasa dan Pengurus tersebut dianggap tidak berpihak terhadap pelaku usaha.

 

Perlu diketahui, dalam aturan tersebut fee bagi pengurus utang dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) selesai dengan homologasi maka pengurus bisa meminta imbalan maksimal hingga 6% dari nilai utang. Sedangkan, saat PKPU berakhir kepailitan nilai maksimal yang bisa diajukan sebesar 8%.

 

“Ternyata saya baru tahu ada Permenkumham bahwa kurator dapat 8 persen dari aset yang dipersengketakan. Dan ironisnya lagi ketika baru pertama kali dijual (aset) yang pertama kali dibayar adalah negara bukan krediturnya. Saya bilang ini bagaimana cara pandangnya. Ini orang (perusahaan) mau mati kemudian krediturnya juga sudah mau mati karena enggak bayar. Malah yang pertama kali terima adalah negara,” jelas Bahlil dalam acara Sinergi Pemerintah dan Pelaku Usaha dalam Rangka Mewujudkan Perbaikan Kemudahan Berusaha di Indonesia (EoDB 2021), Rabu (19/12).

 

Menurutnya, hasil penjualan aset tersebut harus mengutamakan investor agar dapat menghidupkan kembali usahanya. “Bukannya pengusaha yang dihidupi justru malah uangnya ditarik ke negara. Bayangkan saja kalau saya bangkrut aset Rp 1 triliun saat dicek hanya terjual Rp 650 miliar. Begitu dijual utang pajak saya Rp 100 miliar maka pertama kali dibayar pajak. Lalu 8 persen dikasih ke kurator. Terus saya mati kreditur juga mati,” tambah Bahlil.

 

Dia menilai kondisi tersebut tidak memberikan iklim investasi yang positif. Sehingga, dia menilai aturan tersebut harus fleksibel sehingga dapat menciptakan iklim investasi yang dinamis bagi pelaku usaha. “Bahwa negara perlu uang iya. Tapi perlu berikan ruang bagi dunia usaha berkespresi dan berkreasi bagaimana mereka bisa hidup lagi dan membayar pajak kembali. Atau itu jadikan utang pajak dan ditarik atau reschedule pembayaran pajaknya,” tambah Bahlil.

 

(Baca: Rancangan Pedoman Kepailitan dan PKPU Mesti Diselaraskan)

 

Hal senada juga disampaikan, Plt Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM, Yuliot. Dia mendukung perubahan tersebut karena fee kurator dianggap terlalu besar karena perhitungannya dari nilai aset sebelum dilelang sehingga tidak berpihak pada investor. “Kami usulkan berubah aturannya. Selama ini yang diatur kalau ada penyelesaian yang dihitung berdasarkan nilai aset. Kami usulkan perhitungannya dari nilai aset yang diselesaikan,” jelas Yuliot dalam kesempatan yang sama.

 

Menanggapi wacana tersebut, advokat dari Kantor Hukum ADCO, Rizky Dwinanto menyatakan selama ini hasil penjualan aset-aset dalam perkara pailit memang lebih diprioritas untuk pembayaran pajak. Menurutnya, perlu ada fleksibilitas dalam pembayaran tersebut agar para kreditur lain yaitu kreditur separatis dan konkuren mendapatkan pembayaran juga.

Tags:

Berita Terkait