Prof Tri Lisiani, Sang ‘Pendobrak’ Bias Gender dalam Hukum Perkawinan
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Prof Tri Lisiani, Sang ‘Pendobrak’ Bias Gender dalam Hukum Perkawinan

Pemahaman kesetaraan gender merupakan keharusan agar tercapai tujuan yang sudah ditetapkan yaitu memberikan perlindungan kepada kaum perempuan, khususnya dalam hukum perkawinan di Indonesia.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Prof Tri Lisiani Prihatinah. Foto: Humas Unsoed
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Prof Tri Lisiani Prihatinah. Foto: Humas Unsoed

Pasca berlakunya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, perspektif kesetaraan gender berpengaruh terhadap hukum perkawinan terutama kedudukan perempuan dalam pernikahan. Didalamnya ada persoalan kewenangan bertindak istri, status dan peran kepala keluarga, poligami, perceraian, nikah siri, kawin kontrak, perkawinan di bawah umur yang belum sepenuhnya mengadopsi konsep kesetaraan gender.

 

Persoalan ini pernah diangkat sebagai topik pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof Tri Lisiani Prihatinah, S.H.,M.A.,Ph.D pada 19 November 2013 silam. Kala itu, berdiri di atas podium mengenakan toga kebesaran gelar tertinggi dalam dunia akademik, Tri Lisiani Prihatinah menyampaikan pidato yang berjudul “Dinamika Relasi Gender dalam Hukum Perkawinan di Indonesia.”   

 

Prof Tri Lisiani Prihatinah mengurai beragam persoalan dan kelemahan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang belum berperspektif kesetaraan gender yang berujung merugikan pihak perempuan sebagai ibu atau istri. Dalam orasi ilmiah ini dihubungkan dengan perkembangan wacana feminisme dan analisis gender untuk melahirkan cara pandang baru relasi hubungan laki-laki dan perempuan yakni feminis radikal, ketidakadilan gender khususnya kekerasan disebabkan adanya relasi kuasa laki-laki yang lebih dominan daripada perempuan.

 

”Hal ini diperkuat dengan adanya temuan dari peneliti UGM bekerja sama dengan Rifka Annisa Women Crisis Center yang dilakukan di Purworejo Jawa Tengah menunjukkan ada korelasi positif antara relasi kuasa yang tidak seimbang dengan adanya tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga,” ujar Prof Lisiani dalam pidatonya.  

 

Meski demikian, alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (1989) ini mengakui UU Perkawinan ini masih lebih baik dibanding sejumlah pasal-pasal pernikahan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) terkait kesetaraan gender. Sebab, UU Perkawinan telah mengalami perubahan yang menempatkan kedudukan perempuan dan laki-laki secara seimbang.

 

Misalnya, UU Perkawinan telah memberi kepada perempuan beberapa hak yang sama dengan laki-laki yakni sama-sama menjadi subjek hukum; perempuan bisa memiliki dan menguasai harta benda sendiri; membuat perjanjian karena mampu melakukan perbuatan hukum sendiri; tidak dapat dipaksa kawin. Bahkan, dapat mengajukan perceraian terhadap suaminya yang hak-hak itu tidak diakui dalam peraturan yang berlaku sebelumnya.   

 

Dalam pidatonya, Prof Tri Lisiani mengingatkan prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin Pasal 27 UUD Tahun 1945 seharusnya menjadi bagian sistem hukum nasional termasuk hukum perkawinan di Indonesia. Indonesia pun telah meratifikasi berbagai konvensi internasional. Mulai Konvensi Hak-hak Politik Perempuan yang diratifikasi 12 Juni 1958; Konvensi Pengupahan yang Sama  bagi Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya yang diratifikasi 8 November 1958; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (UU Nomor 7 Tahun 1984).     

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait