Prof Rosa Agustina, Pendorong Legalitas Perikatan dalam Transaksi Elektronik
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Prof Rosa Agustina, Pendorong Legalitas Perikatan dalam Transaksi Elektronik

Ke depan, seharusnya ada pengaturan khusus yang lebih detail dalam perikatan untuk melindungi konsumen dan pelaku bisnis online dalam transaksi elektronik.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Rosa Agustina. Foto: Istimewa
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Rosa Agustina. Foto: Istimewa

Sejak 10 tahun lalu, perkembangan teknologi informasi sudah sedemikian pesat hingga saat ini. Kondisi ini telah menyebabkan perubahan beragam aktivitas manusia dalam berbagai bidang kehidupan yang mempengaruhi perbuatan hukum baru terutama dalam transaksi elektronik. Atau saat ini lazim dikenal dengan e-commerce (perdagangan elektronik).  

 

Di sisi lain, hukum perikatan (perjanjian) dalam Buku III KUHPerdata belum cukup mampu menjangkau perkembangan praktik transaksi elektronik dari sisi norma untuk mengaturnya, hingga saat ini. Sekalipun, saat itu sudah terbit UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

Persoalan ini menjadi pokok bahasan saat pidato pengukuhan Prof Rosa Agustina sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) pada 2009 silam. Kala itu, Rosa Agustina berdiri di depan podium mengenakan toga kebesaran gelar tertinggi dalam dunia akademik, menyampaikan pidato berjudul “Perkembangan Hukum Perikatan di Indonesia dari Burgelijk Wetboek hingga Transaksi Elektronik.”

 

“Sudah saatnya KUHPerdata Indonesia harus diubah, terutama hukum perikatan guna menselaraskan proses modernisasi kemajuan ilmu dan teknologi dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam transaksi elektronik,” demikian salah satu rekomendasi Prof Rosa Agustina dalam orasi ilmiah saat pengukuhan Guru Besar FHUI pada 22 April 2019 silam.      

 

Wanita kelahiran Purwokerto 31 Agustus 1959 ini berpendapat hukum perikatan dalam KUHPerdata (Burgelijk Wetboek/BW) – sebagai peninggalan produk hukum kolonial Belanda yang diadopsi dari Code Civil Prancis – yang dipelajari sekarang ini sangat tidak memadai dengan perkembangan hukum perikatan dalam praktik transaksi elektronik yang sudah sedemikian pesatnya.

 

Sementara Buku III KUHPerdata hanya mengatur 15 jenis perjanjian yaitu perjanjian jual beli; tukar menukar; sewa menyewa; pekerjaan untuk melakukan pekerjaan; persekutuan; perkumpulan; hibah; penitipan barang; pinjam pakai; pinjam meminjam; bunga tetap atau bunga abadi; perjanjian untung-untungan; pemberian kuasa; penanggungan dan perjanjian perdamaian. Perjanjian-perjanjian tersebut, dikenal dengan sebutan perjanjian bernama atau nominaat concracten.

 

“Dalam praktik muncul perjanjian-perjanjian sewa beli, leasing, factoring, franchising, dan lain lain yang disebut sebagai perjanjian tak bernama atau innominaat contracten. Perjanjian tak bernama ini dalam perkembangannya merujuk pada asas kebebasan berkontrak sebagai asas pokok perjanjian,” ujar dia dalam pidatonya. Baca Juga: Buah Pemikiran Prof Retno Murni Soal Penguatan Perlindungan Konsumen

Tags:

Berita Terkait