Catatan Evaluasi: Sengkarut Penegakan Keadilan Pemilu 2019
Kolom

Catatan Evaluasi: Sengkarut Penegakan Keadilan Pemilu 2019

Untuk menghadirkan keadilan pemilu dan kepastian hukum itu, haruskah negeri ini memiliki badan peradilan pemilu yang khusus?

Bacaan 2 Menit
Munandar Nugraha. Foto: Istimewa
Munandar Nugraha. Foto: Istimewa

Polemik pemilu 2019 ditandai dengan perdebatan substansial, yaitu bagaimana mendorong lahirnya kepemimpinan dari hasil pemilu yang berintegritas? Yang amanah? Yang mengedepankan kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara? Atas dasar perspektif ini, KPU sebagai penyelenggara teknis pemilu menyatakan bahwa ini adalah ruh yang harus ada dalam penyelenggaraan pemilu, karena pemilu adalah mekanisme legal yang menghasilkan kepemimpinan nasional dan wakil rakyat. Kepemimpinan yang mewakili rakyat, baik dalam tingkatan kabupaten/kota, provinsi dan nasional.

 

Ya, pada pemilu 2019 yang lalu, ada PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang mengatur larangan mantan terpidana korupsi, mantan terpidana bandar narkoba dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak untuk menjadi caleg DPR dan DPRD yang ditetapkan pada 30 Juni 2018.

 

Selain itu juga ada PKPU Nomor 26 tahun 2018 yang mengatur larangan pengurus partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD yang ditetapkan pada 9 Agustus 2018. Menurut KPU, ini adalah bagian dari norma untuk menyaring sejak dini guna mengkondisikan hasil pemilu yang berintegritas. Kedua PKPU ini penting kita pahami, karenanya kita memiliki pengalaman terkait dengan penegakan keadilan pemilu.

 

Pertanyaannya, bagaimana implementasi PKPU ini dalam pemilu 2019 yang lalu? Awal Juli 2018, salah satu mantan narapidana kasus korupsi dana infrastruktur daerah, Wa Ode Nurhayati menjadi penggugat PKPU No. 20 Tahun 2018 ke Mahkamah Agung (MA). Pro kontra terjadi. Tidak hanya perdebatan wacana, PKPU ini juga memantik langkah hukum dari banyak bakal calon legislatif (bacaleg) DPRD “yang terancam”. Pada tanggal 8-12 Agustus 2018 adalah tahapan penyusunan dan penetapan Daftar Calon Sementara (DCS), banyak bacaleg yang berguguran karena PKPU ini.

 

UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana diatur dalam pasal 466 memungkinkan penyelesaian sengketa antar peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu (KPU) melalui Bawaslu. Dalam sengketa proses pemilu, Bawaslu sebagai satu kesatuan Penyelenggara Pemilu menjadi bagian dari pihak yang berwenang memediasi, mengajudikasi dan memutuskan persengketaan yang terjadi.

 

Setelah ditetapkan tidak lolos dalam keputusan KPU sebagai bacaleg, karena dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS), tidak sedikit bacaleg yang terganjal PKPU ini mengajukan permohonan penyelesaian sengketa ke Bawaslu di berbagai daerah, baik bacaleg DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Proses penyelesaian sengketa tidak selesai dalam ruang musyawarah dan mediasi, hingga diputuskan dalam persidangan ajudikasi.

 

Puncaknya, pada akhir Agustus 2018 hampir semua putusan Bawaslu, baik di Kabupaten/Kota maupun Provinsi mengabulkan permohonan pemohon. Memerintahkan pihak termohon (KPU) untuk menindak lanjuti putusan dengan menyatakan para pemohon memenuhi syarat (MS) dan terdaftar dalam DCS.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait