Cerita tentang Profesor Retno Saraswati, Perkembangan Teknologi dan Daulat Presiden
Utama

Cerita tentang Profesor Retno Saraswati, Perkembangan Teknologi dan Daulat Presiden

Indonesia menganut sistem presidensial. Tetapi dalam realitas, ada beberapa peristiwa yang layak dikritik. Ikuti pandangan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Retno Saraswati.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Prof. Retno Saraswati, Guru Besar Ilmu Hukum Undip Semarang. Foto: Istimewa
Prof. Retno Saraswati, Guru Besar Ilmu Hukum Undip Semarang. Foto: Istimewa

Revolusi industri 4.0 telah mengubah banyak hal, membawa angin disrupsi yang begitu cepat. Clayton Christensen telah membuka mata banyak kalangan pada era disrupsi. Disrupsi, kata Christensen, menggantikan ‘pasar lama’, industri, dan teknologi, dan menghasilkan suatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Disrupsi itu bersifat destrktif sekaligus kreatif.

Dunia hukum termasuk yang terkena tiupan angin disrupsi. Era teknologi informasi memasuki dunia hukum seperti yang kini dikembangkan Mahkamah Agung melalui e-court dan e-litigation. Birokrasi pemerintahan yang membidangi hukum pun tidak dapat menghindarkan diri, sebagaimana diakui Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly lewat bukunya ‘Birokrasi Digital’ (2019).

Perkembangan teknologi dan informasi juga bertiup begitu cepat ke dunia pendidikan. Mau tidak mau, pendidikan hukum di Tanah Air harus banyak menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Konsep-konsep hukum tentang perjanjian, jual beli, sewa menyewa, hubungan ketenagakerjaan, dan modus tindak pidana berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi tantangan bagi civitas akademika.

Persiapan dan kesiapan bukan hanya harus datang dari mahasiswa, tetapi juga pengelola perguruan tinggi hukum. Dalam perbincangan hukumonline dengan Profesor Retno Saraswati, terungkap bagaimana pengelola pendidikan mengantisipasi dampak perkembangan teknologi itu ke dalam pendidikan hukum. Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu menegaskan pendidikan hukum di Indonesia harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pengelola perguruan tinggi hukum negeri, misalnya, kerap melakukan pertemuan dengan pengguna lulusa Fakultas Hukum seperti perusahaan, firma hukum, dan kalangan birokrasi di lembaga-lembaga hukum.

Pertemuan antar pengelola Fakultas Hukum perguruan tinggi negeri belum lama ini juga telah membahas integrasi dunia digital dengan kurikulum Fakultas Hukum.  “Pengguna itu kita mintai pendapat kira-kira lulusan kita itu yang dibutuhkan seperti apa. Itulah yang nanti akan kita desain di dalam kurikulum,” ujarnya kepada hukumonline.

Ini pula yang terus dikembangkan setelah Prof. Retno memimpin FH Undip, Semarang, sejak 2018 lalu. Integrasi era digital, kata sang Guru Besar Hukum Tata Negara itu, tidak hanya berkaitan dengan sistem pendidikan, tetapi juga substansi hukum. “Substansi hukumnya jadi bahasan menarik bagi para mahasiswa. Misalkan alat bukti elektronik, atau putusan elektronik,” terangnya.

Pengalaman sebagai orang yang berkecimpung dalam pendidikan hukum selama puluhan tahun memudahkan Prof. Retno mengintegrasikan era digital ke lingkungan kampus. Ia lulus dari Fakultas Hukum Undip pada 1992. Di kampus yang sama, ia menamatkan magister (2001) dan doktor ilmu hukum (2011). Sebelum diangkat menjadi Dekan FH Undip, akademisi kelahiran Kendal 19 November 1967 ini sudah memegang sejumlah jabatan di kampus seperti Ketua Program Magister Ilmu Hukum (2013-2015), dan Pembantu Dekan I (2015-2018).

Tags:

Berita Terkait