Pasar Keadilan, Sebuah Refleksi Peradilan
Kolom

Pasar Keadilan, Sebuah Refleksi Peradilan

Ada dua opsi untuk mengakhiri budaya pasar keadilan di tubuh peradilan.

Bacaan 2 Menit
Pasar Keadilan, Sebuah Refleksi Peradilan
Hukumonline

Banyaknya OTT KPK yang melibatkan hakim dan penegak hukum lainnya menggambarkan bahwa lembaga peradilan masih seperti pasar keadilan yang memperjual-belikan keadilan. Deretan OTT yang terjadi pada para penegak hukum semakin menguatkan persepsi bahwa kini pengadilan di Indonesia sudah sangat darurat suap.

 

Aparat peradilan melihat keadilan sebagai komoditas jual-beli, artinya keadilan tidak diberikan berdasarkan kebenaran, tetapi keadilan diberikan berdasarkan motif keuntungan pribadi (seperti suap dan gratifikasi) yang diterima. Belum lama ini masyarakat bereaksi keras atas dibebaskannya pelaku pemerkosa dengan bukti kuat melalui proses peradilan yang penuh kejanggalan di Cibinong, bahkan kasus ini sempat menjadi trending melalui petisi di www.change.org.

 

Nyata janggalnya peradilan di Indonesia juga nampak di Sulawesi Selatan, di PN Makassar bahkan bandar narkoba yang tertangkap dengan barang bukti 3,4 kilogram sabu dan telah menjadi DPO juga dibebaskan. Di tingkat Mahkamah Agung (MA) ‘obral’ potongan hukuman bagi terpidana korupsi maupun narkoba terus terjadi khususnya pasca pensiunnya hakim agung kamar pidana Artidjo Alkostar.

 

Secara empiris memang penegakan hukum di Indonesia tajam ke bawah dan tumpul ke atas, nyatanya pengadilan negeri Muara Bulian, Jambi, justru menjatuhkan hukuman bagi anak di bawah umur korban perkosaan kakak kandungnya yang oleh ibunya dilakukan aborsi. Kasus lainnya yang justru meletakkan korban sebagai tersangka adalah kasus Baiq Nuril di Lombok (NTB) korban pelecehan yang justru dipidana berdasarkan UU ITE.

 

Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas telah terjadi selama puluhan tahun (bahkan sejak Indonesia merdeka), mulai dari kasus sengkon-karta, Sum Kuning dan wartawan Udin di Yogyakarta hingga Marsinah di Jawa Timur adalah contoh bahwa keadilan memang diperjualbelikan. Kultur koruptif dan transaksional pada lembaga peradilan di Indonesia memang sudah sangat kronis .

 

Budaya Pasar

Yap Thiam Hien (1980), menyatakan bahwa salah satu ciri lembaga peradilan yang korup adalah mirip pasar yakni adanya transaksi, lembaga peradilan yang korup menjual keadilan pada pihak-pihak yang mampu membelinya. Pada kondisi ini lembaga peradilan tidak lagi memiliki wibawa untuk melindungi masyarakat lemah, tetapi lembaga penegak hukum justru menjadi alat kesewenang-wenangan oknum koruptif yang menjual keadilan demi memenuhi keserakahannya.

 

Misalnya pada kasus korupsi eks hakim tinggi PT Sulawesi Utara tahun 2018 lalu ketika hakim menerima suap untuk membayar cicilan leasing mobil. Artinya hal semacam ini menunjukkan bahwa hakim bukan wakil Tuhan. Saat ini perilaku transaksional pada proses penegakan hukum telah membudaya di setiap lapisan pengadilan di Indonesia. Mulai hakim MA, hakim PT, PN, hakim adhoc, Panitera, Panitera Pengganti dan semua elemen dari seluruh lingkungan peradilan telah menjadi pesakitan di KPK. Hal ini membuktikan bahwa masih terjadi budaya pasar pada lingkungan peradilan di Indonesia dan keadilan harus dibayar.

Tags:

Berita Terkait