Sejumlah Catatan Jatam Soal Draf Revisi UU Minerba
Berita

Sejumlah Catatan Jatam Soal Draf Revisi UU Minerba

Dihapusnya tanggung jawab penerbit izin pertambangan dinilai keliru. Penerbitan izin pertambangan merupakan salah satu sektor yang sarat akan korupsi.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES

Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Pertambangan (Minerba) merupakan salah satu paket Rancangan Undang-Undang yang sempat ditolak oleh publik pada akhir periode DPR 2014-2019. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam Catatan Awal Tahunnya menyebutkan sejumlah substansi dari Revisi Undang-Undang Minerba ini mengancam keselamatan warga negara dan alam.

 

“Dari hasil kajian Jatam, paling tidak ditemukan beberapa butir permasalahan dari draf naskah revisi Undang-Undang Minerba dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari Undang-Undang tersebut,” ujar Kepala Kampanye Jatam, Melky Nahar, di hadapan wartawan, Senin (6/1), di Jakarta. 

 

Melky menyoroti penghapusan pertanggungjawaban pejabat negara dengan dihapuskannya Pasal 165 Undang-Undang Minerba. Pasal 165 menyatakan, Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000.

 

Jatam menilai penerbitan izin pertambangan merupakan salah satu sektor yang sarat akan korupsi. Termasuk di dalamnya penyalahgunaan wewenang seperti kasus hukum yang menimpa sejumlah Kepala Daerah sehingga dipidana akibat mengeluarkan izin bermasalah dan koruptif. 

 

Salah satu kepala daerah yang dijerat dengan pasal 165 adalah Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi tenggara yang mengeularkan IUP eksplorasi serta menyetujui peningkatan dari eksplorasi menjadi produksi untuk PT Billy Indonesia yang menggunakan nama PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).

 

Jatam juga menilai bahwa naskah revisi UU Minerba sama seklai tidak mempersempit ruang untuk ekspansi pengerukan pertambangan, tapi justru menjadi akselerator pengerukan sumber daya alam. Meskipun terdapat pasal yang berbunyi tentang adanya pertimbangan instrumen Hak Asasi manusia (HAM), lingkungan, dan sebagaiya, namun Jatam menilai hal ini tidak akan diperhatikan karena ambisi pemerintah mengejar rencana pembangunan nasional.

 

Pembangunan nasional yang mengejar pertumbuhan ekonomi makro dengan perluasan kawasan-kawasan industri, menurut Jatam, akan lebih mengakselerasi pengerukan sumber daya alam demi menopang pertumbuhan dan perluasan kawasan industri. Hal ini berkaitan erat dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Daerah (RPJMD).

Tags:

Berita Terkait