Capaian Minim, Koalisi Minta Presiden Jokowi Pimpin Reforma Agraria
Berita

Capaian Minim, Koalisi Minta Presiden Jokowi Pimpin Reforma Agraria

Reforma agraria diyakini sebagai salah satu upaya terbaik untuk selesaikan konflik agraria.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria. Foto: MYS
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria. Foto: MYS

Pekerjaan Rumah (PR) yang belum mampu dituntaskan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam periode 2014-2019, salah satu reforma agraria. Sebab, pelaksanaan reforma agraria yang dilakukan Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berbeda dengan tujuan utama reforma agraria yakni perombakan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah.

 

Demikian disampaikan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Dia mengatakan dalam RPJMN 2015-2019 pelaksanaan reforma agraria dilaksanakan melalui dua skema yakni redistribusi dan legalisasi tanah dengan target 9 juta hektar. Dewi mencatat Kementerian ATR/BPN per Agustus 2019 mengklaim berhasil melakukan redistribusi tanah seluas 440 Ribu hektar dari target 400 Ribu hektar. Capaian itu bukan berasl dari penertiban HGU/HGB terlantar, habis masa berlakunya atau tumpang tindih dengan Desa.

 

Sampai saat ini Kementerian ATR/BPN juga dinilai tidak transparan melaporkan daftar konsesi perusahaan yang telah dilakukan redistribusi lahan. Faktanya, pencapaian itu berasal dari kegiatan reforma agraria dengan proses penerbitan sertifikasi biasa. Pencapaian yang tinggi melalui legalisasi aset, menurut Dewi menunjukan pemerintah belum serius merombak ketimpangan struktur agraria dan penyelesaian konflik agraria.

 

"Sertifikasi tanpa merombak ketimpangan struktur penguasaan tanah justru melegalkan ketimpangan yang telah ada," kata Dewi dalam peluncuran Catatan Akhir Tahun 2019 KPA di Jakarta, Senin (6/1/2019). Baca Juga: Tap MPR Pembaruan Agraria Ini Didesak untuk Dilaksanakan

 

Dewi juga menyoroti kinerja KLHK dalam melakukan redistribusi tanah yang bersumber dari pelepasan kawasan hutan tergolong sangat rendah. Per Agustus 2019, redistribusi tanah yang diterima rakyat melalui skema pelepasan kawasan hutan hanya 19.490 hektar dari target 4,1jt hektar. Untuk reforma agraria, KLHK mengklaim capaiannya sekitar 2,4 juta hektar, menurut Dewi jumlah ini hanya dalam bentuk peta indikatif tanah obyek reforma agraria (TORA). Statusnya belum di redistribusi kepada rakyat.

 

Mengacu fakta tersebut, Dewi menyimpulkan sedikitnya 3 hal terkait pelaksanaan reforma agraria yang dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Pertama, terjadi proses sertifikasi tanah tanpa proses reforma agraria. Hal ini memicu terjadinya liberalisasi pasar tanah. Kedua, proses redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria sangat lambat. Ketiga, terdapat paradoks kebijakan, sehingga menghasilkan jarak yang makin lebar antara penguasaan tanah oleh rakyat kecil dengan korporasi.

 

Praktik reforma agraria di era pemerintahan Jokowi, menurut Dewi sama seperti masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yakni menjadikan program sertifikasi tanah sebagai unggulan. Parahnya, Kementerian ATR/BPN mengklaim sertifikasi tanah yang dilakukan merupakan bagian dari reforma agraria. KLHK juga gagal menjalankan reforma agraria untuk menuntaskan konflik agraria sekaligus mereformasi paradigma kawasan hutan Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait