Kalangan Buruh Sebut Enam Dampak Buruk Omnibus Law bagi Buruh
Berita

Kalangan Buruh Sebut Enam Dampak Buruk Omnibus Law bagi Buruh

Mulai penghapusan upah minimum, pesangon, jaminan sosial, sanksi pidana bagi pengusaha, perluasan jenis pekerjaan yang bisa di-outsourcing, hingga masuknya TKA unskill.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi demo buruh di Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi demo buruh di Jakarta. Foto: RES

Rencana pemerintah melakukan deregulasi melalui omnibus law kembali mendapat penolakan dari kalangan buruh. Sebab, substansi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja potensi menurunkan kesejahteraan bagi buruh/pekerja seluruh Indonesia.     

 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mencatat sedikitnya ada 6 dampak buruk omnibus law bagi kaum pekerja di Indonesia. Pertama, omnibus law rencananya akan menghilangkan upah minimum dan menggantinya dengan penerapan upah per jam. Meskipun ada pernyataan yang menyebut buruh dengan jam kerja minimal 40 jam sepekan akan mendapat upah seperti biasa, tapi bagi buruh dengan jam kerja kurang dari 40 jam akan mendapat upah di bawah minimum.

 

Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan; maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja,” kata Iqbal ketika dikonfirmasi, Selasa (7/1/2020). Baca Juga: Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Dinilai Potensi Ciptakan PHK Massal

 

Iqbal yakin dalam praktiknya nanti pengusaha sangat mudah untuk mengurangi jam kerja, sehingga buruh tidak bekerja selama 40 jam sepekan. Dia menilai penerapan berdasarkan jam kerja ini dapat disebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap pelaksanan upah minimum. Padahal, upah minimum merupakan jaring pengaman bagi semua pekerja, tidak ada istilah (dikenal) upah minimum bulanan dan per jam.

 

Kedua, menghilangkan pesangon. Iqbal menilai UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur besaran pesangon maksimal 9 bulan dan dapat dikalikan 2 untuk pemutusan hubungan kerja (PHK) jenis tertentu, sehingga totalnya bisa mendapat 18 bulan upah, bakal dihilangkan.  

 

Selain itu, ada penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah dan penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon dan/atau penghargaan masa kerja. Namun, melalui RUU Omnibus Law, Iqbal melihat pemerintah berencana memangkas pesangon menjadi tunjangan PHK sebesar 6 bulan upah.

 

Ketiga, fleksibilitas pasar kerja dan perluasan outsourcing. Menurut Iqbal, omnibus law akan memperkenalkan istilah baru yaitu fleksibilitas pasar kerja. Dia menerangkan fleksibilitas pasar kerja berarti tidak ada kepastian kerja dan pengangkatan status menjadi karyawan tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait