RUU Omnibus Law Dinilai Tak Punya Pijakan Hukum
Utama

RUU Omnibus Law Dinilai Tak Punya Pijakan Hukum

Penerapan omnibus law dinilai berpotensi menambah masalah baru dalam sistem hukum Indonesia; terburu-terburu dan tertutup; dan berpotensi melanggar hak warga negara terutama buruh dan keluarganya yang dijamin konstitusi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Kritik terhadap pemerintah melakukan deregulasi melalui mekanisme omnibus law tak hanya datang dari kalangan buruh, tapi juga lembaga bantuan hukum. Pasalnya, pemerintah saat ini tengah sibuk merumuskan dan membahas sejumlah RUU Omnibus Law, seperti RUU Cipta Lapangan Kerja; RUU Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM); RUU tentang Perpajakan; dan RUU tentang Perpindahan Ibukota Negara demi menggenjot pertumbuhan ekonomi.

 

Direktur LBH Jakarta Arif Maulana memberi catatan sedikitnya 3 hal terhadap omnibus law yang digulirkan pemerintah. Pertama, berpotensi menambah masalah dalam sistem hukum Indonesia. Arif melihat melalui omnibus law pemerintah akan merevisi lebih dari 70 UU, salah satunya UU Ketenagakerjaan melalui RUU Cipta Lapangan Kerja selain RUU Omnibus Law yang lain. Menurut Arif, revisi sejumlah UU melalui omnibus law ini tidak sesuai sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia.

 

Sebut saja, Undang-Undang (UU) No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diperbarui dengan UU No.15 Tahun 2019 tidak mengatur tentang mekanisme omnibus law. Bahkan, ada pandangan yang menyebut omnibus law tidak lazim diterapkan di Indonesia karena menggunakan sistem hukum civil law.

 

“Omnibus law ini tidak punya landasan (dasar) hukum,” kata Arif dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (8/1/2020) kemarin. Baca Juga: Kalangan Buruh Sebut Enam Dampak Buruk Omnibus Law bagi Buruh

 

Dia menilai penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja seharusnya taat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika tidak, berpotensi menimbulkan masalah baru. Kedua, perencanaan omnibus law ini terburu-buru dan tertutup, bahkan dia mendapat informasi akhir Januari 2020 pemerintah akan menyerahkan draft RUU Omnibus Law ke DPR.

 

Hal ini dapat dilihat dari absennya upaya pemerintah untuk melibatkan publik, terutama dari kalangan organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh. Sebab, Satgas Omnibus Law yang dibentuk pemerintah dipimpin kalangan pengusaha dengan anggota dari pengusaha, perwakilan pemerintah dan akademisi.

 

Arif mengingatkan kebijakan yang diterbitkan tanpa melibatkan partisipasi publik akan melahirkan kebijakan yang diskriminatif. Arif tidak yakin omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja ini bakal mengakomodir kepentingan buruh dan keluarganya karena perwakilan mereka tidak dilibatkan dalam pembahasan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait