Evaluasi Terhadap Lembaga Penyelenggara, Revisi UU Pemilu Mesti Disegerakan
Berita

Evaluasi Terhadap Lembaga Penyelenggara, Revisi UU Pemilu Mesti Disegerakan

Harus jadi perhatian serius para pembuat undang-undang dan para pegiat pemilu

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Pembentuk undang-undang sudah memasukan Revisi Undang-Undang Pemilu dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 sebagai salah prioritas yang akan dituntaskan pada tahun ini. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) berharap pembahasan Revisi UU Pemilu dapat diselesaikan lebih cepat.

Perludem juga mengingatkan agar pembentuk undang-undang tidak hanya membahas Revisi UU Pemilu, sinkorisasi dan penataannya juga mesti dibarengi dengan UU Pilkada dan UU Partai Politik. Langkah ini akan sangat menentukan keseriusan pembentuk undang-undang untuk menghentikan problem disharmoni antar regulasi kepemiluan, dan juga membuktikan keseriusan pembentuk undang-undang untuk menguatkan kerangka hukum demokrasi.

“Jika undang-undang dapat diselesaikan lebih cepat, sosialisasi dan simulasi terhadap penerapan undang-undang juga akan lebih matang disiapkan. Oleh sebab itu, pembahasan undang-undang kepemiluan mesti segera dimulai,” ujar Derektur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, dalam penyampaian Catatan Awal Tahun, Jumat (10/1), di Jakarta.

Menurut Titi, dalam pengaturan UU Pemilu evaluasi terhadap lembaga penyelenggara pemilu mesti menjadi perhatian serius. Penangkapan Wahyu Setyawan dalam kasus suap dari salah satu kader partai politik terkait dengan pengurusan pergantian antar waktu (PAW), membuktikan sistem penjaga intergitas di lembaga penyelenggara pemilu tidak berjalan.

Oleh sebab itu, proses pembahasan UU Pemilu mestinya memfokuskan evaluasi total terhadap lembaga penyelenggara pemilu mulai dari proses seleksi, tata kelola lembaga, termasuk pengaturan prinsip terhadap standar etik dan batasan perilaku yang lebih ketat dan efektif untuk mencegah lembaga penyelenggara pemilu kembali terjerembab kepada praktik suap.

Selain itu, Titi mencatat sepanjang rangkaian penyelenggaraan Pemilu 2019 telah terjadi sejumlah distorsi atas konsistensi pelaksanaan sistem pemilu yang berlaku. Distorsi ini terjadi akibat lahirnya putusan pengadilan yang mengkorosi dan tidak sejalan dengan substansi sistem pemilu proporsional terbuka yang dianut Indonesia. Sebut saja Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.520/Pdt.Sus.Parpol/2019/PN JKT.SEL, yang menjadi basis melenggangnya sejumlah politisi yang tidak memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu April 2019 lalu ke Senayan.

“Ini harus jadi perhatian serius para pembuat undang-undang dan para pegiat pemilu. Distorsi atas sistem pemilu ini berbahaya, melemahkan suara rakyat, dan ternyata jadi bagian dari rangkaian tindakan koruptif,” ungkap Titi.

Lalu ada juga Putusan Mahkamah Agung No. 57 P/HUM/2019, yang menjadi pangkal mula polemik berujung OTT KPK atas Wahyu Setiawan. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam jumpa pers terkait OTT Wahyu Setiawan. Lili mengatakan perkara ini berawal ketika seorang pengurus DPP PDIP memerintahkan seorang advokat untuk mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.

Tags:

Berita Terkait