Penyerahan Mandat Pimpinan KPK Disinggung dalam Praperadilan Nurhadi
Berita

Penyerahan Mandat Pimpinan KPK Disinggung dalam Praperadilan Nurhadi

Permohonan praperadilan diajukan tiga orang sekaligus.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Mantan Sekretaris MA Nurhadi mengajukan permohonan praperadilan melawan KPK. Foto: RES
Mantan Sekretaris MA Nurhadi mengajukan permohonan praperadilan melawan KPK. Foto: RES

Setelah tertunda sepekan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya menggelar sidang permohonan praperadilan yang diajukan mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, Senin (13/1). Ternyata, permohonan bukan hanya diajukan Nurhadi, tetapi juga dua orang lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Pemohon I, Rezky Herbiono; dan Pemohon III Hiendra Soenjoto. Nurhadi sendiri adalah Pemohon II.

Mereka sama-sama mengajukan permohonan praperadilan karena tindak pidana yang dituduhkan adalah pemberian suap dan penerimaan suap. Lantaran perbuatan itu satu kesatuan, maka permohonan lebih efisien diajukan dalam satu berkas permohonan. Mereka mempersoalkan penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ada sejumlah argumentasi hukum yang disampaikan dalam permohonan. Salah satunya adalah status pimpinan KPK pada saat penetapan Rezky, Nurhadi, dan Hiendra sebagai tersangka. Tiga orang pimpinan KPK sempat menyatakan untuk menyerahkan mandar kepada Presiden Joko Widodo sebagai wujud penolakan mereka atas revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

(Baca juga: Ditetapkan Tersangka, Eks Sekretaris MA Ajukan Praperadilan).

Menurut pemohon, kenyataan hukum penetapan tersangka terhadap para pemohon adalah tidak berdasarkan atas hukum, atau cacat hukum, atau tidak sah, serta tidak mempunyai kekuatan mengikat, semakin diperparah kenyataan bahwa tiga dari lima pimpinan KPK telah mengumumkan secara terbuka pengembalian mandat kepada Presiden pada 13 September 2019.

Melalui kuasa hukumnya yang tergabung dalam Tim Advokat Pembela Rezky Nurhadi Hiendra, para pemohon menguraikan sejumlah ‘kelemahan’ penetapan tersangka. Secara hukum, sejak putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2016, penetapan tersangka telah sah dijadikan sebagai objek praperadilan. Maka permohonan praperadilan atas penetapan ketiga pemohon sebagai tersangka sudah memenuhi persyaratan.

(Baca juga: Tiga Jalan Hukum yang Ubah Praktik Praperadilan).

Para pemohon beranggapan bahwa keputusan KPK itu tidak tepat dan cacat hukum. Nurhadi, misalnya, belum pernah diperiksa sebagai tersangka dalam tindak pidana yang dituduhkan. Memang, mantan Sekretaris Mahkamah Agung itu pernah diperiksa sebagai saksi dalam perkara Edy Nasution, Doddy Ariyanto Supeno, dan Eddy Sindoro.

Selain itu, para pemohon menyebutkan bahwa penyerahan uang dari Pemohon III ke Pemohon I tak terkait dengan Pemohon II. Penyerahan duit itu semata urusan bisnis (pembangkit listri tenaga mikrohidro) yang dituangkan dalam perjanjian. Pemohon I juga sudah ‘mengembalikan’ duit itu setelah bisnis mereka tidak berlanjut. Wujud pengembaliannya adalah kebun kelapa sawit, dan itu dituangkan dalam perjanjian yang dikuatkan notaris.

“Pemohon I dan Pemohon III sepakat untuk mengakhiri perjanjian kerjasama untuk investasi PLTM, sebagaimana dituangkan dalam Akta No. 79 tanggal 22 Maret 2019 tentang Pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Saham yang dibuat di hadapan notaris,” demikian antara lain argumentasi para pemohon.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta hakim yang mengadili perkara ini menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan. Selain itu, meminta hakim menyatakan agar surat perintah yang menyatakan ketiga pemohon sebagai tersangka tidak sah, tidak berdasarkan hukum, dan karena itu tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Tags:

Berita Terkait