Ahli: Perlu Pemisahan Pemilu Serentak Nasional dan Daerah
Berita

Ahli: Perlu Pemisahan Pemilu Serentak Nasional dan Daerah

Karena pemilu serentak nasional (pilpres dan pemilu legislatif) menimbulkan multi efek, salah satunya kecenderungan pemilih presiden dan kepentingan presidennya berpengaruh pada pemilihan dan keterpilihan anggota parlemen (DPR) serta menimbulkan keterbelahan pemerintahan daerah.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sidang lanjutan pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) terkait konstitusionalitas pemilu serentak kembali digelar. Sidang kali ini, mendengarkan keterangan beberapa ahli pemohon yakni Didik Supriyanto dan Khairul Fahmi.

 

Dalam keterangannya, Didik Supriyanto menilai Pemilu Serentak 2019 hanya melaksanakan pemilu presiden dan pemilu legislatif tanpa menyertakan pemilu kepala daerah (pilkada). Hal ini mengakibatkan keterbelahan kondisi pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.

 

“Solusi keterbelahan pemerintah provinsi, kabupaten/kota adalah menyerentakan pemilihan kepala daerah untuk pemilihan gubernur, bupati dan walikota dengan pemilu DPRD,” kata Didik di ruang sidang MK, Senin (13/1/2020). Baca Juga: Ahli: Pemilu Serentak Perlu Optimalkan Penggunaan Teknologi

 

Dia mencontohkan pemerintahan yang tidak efektif pada era presiden SBY akibat pemisahan pemilu presiden dan pemilu legislatif yang kemudian melahirkan putusan MK No. 14/PUU-XI/2013. Putusan itu menyatakan pemisahan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden inkonstitusional. Karena itu, MK memerintahkan agar kedua jenis pemilu itu dilaksanakan secara serentak pada Pemilu 2019 untuk menguatkan sistem presidensial.

 

"Tujuan putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 harus diperluas guna mengefektifkan pemerintahan daerah dengan cara menyerentakan pilkada dan pemilu DPRD. Dengan demikian, pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah sejalan dengan tujuan putusan itu," katanya.    

 

Mantan Anggota Panwaslu ini menerangkan pemilu serentak (pilpres dan pemilu legislatif) menimbulkan multi efek, salah satunya kecenderungan pemilih presiden dan kepentingan presidennya berpengaruh pada pemilihan dan keterpilihan anggota parlemen (DPR). Misalnya, keterpilihan calon presiden A mempengaruhi keterpilihan calon anggota parlemen dari partai atau koalisi partai yang mengajukan calon presiden A.

 

Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas Khairul Fahmi melanjutkan putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 sebenarnya mendapat dukungan luas dari pakar hukum tata negara, pakar politik, termasuk publik. Dari putusan itu, argumentasi MK yang paling mendapat dukungan adalah keterkaitan desain sistem pemilu dengan sistem pemerintahan presidensial. Bagi MK, kata dia, desain keserentakan pilpres dengan pemilu legislatif akan berkontribusi untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

Tags:

Berita Terkait