Buruh Minta Aturan Ketenagakerjaan Ditarik dari RUU Cipta Lapangan Kerja
Utama

Buruh Minta Aturan Ketenagakerjaan Ditarik dari RUU Cipta Lapangan Kerja

Karena semangat pemerintah melalui omnibus law dinilai mereduksi berlakunya UU Ketenagakerjaan. Karena itu, serikat pekerja menolak pengaturan 11 cluster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar unjuk rasa menolak RUU Cipta Lapangan Kerja di Gedung DPR Jakarta, Senin (13/1). Foto: RES
Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar unjuk rasa menolak RUU Cipta Lapangan Kerja di Gedung DPR Jakarta, Senin (13/1). Foto: RES

Sejumlah serikat pekerja kompak menolak materi muatan dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Lapangan Kerja yang merupakan omnibus law dari sejumlah UU, salah satunya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja terdapat 11 cluster (kelompok) yang mengatur ketenagakerjaan sebagaimana tertuang dalam Bab IV Ketenagakerjaan.

 

“Serikat pekerja meminta agar seluruh cluster tentang ketenagakerjaan dikeluarkan (ditarik, red) dari omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja,” ujar Bendahara Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi Pertambangan (FSP KEP) Zainudin Agung dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi IX DPR, Kamis (16/1/2020). Baca Juga: Presiden Minta Omnibus Law Rampung dalam 100 Hari Kerja

 

Dia menilai langkah pemerintah membuat omnibus law melalui RUU Cipta Lapangan Kerja yang memuat 11 cluster tak melibatkan organisasi serikat pekerja/buruh. Imbasnya, isu yang berkembang di masyarakat, khususnya cluster ketenagakerjaan dalam omnibus law membuat gaduh dan menimbulkan ketidaknyamanan kalangan pekerja/buruh.

 

Setelah menyerap aspirasi ke berbagai daerah, FSP KEP mencatat sejumlah isu yang muncul dalam materi muatan RUU Cipta Lapangan Kerja. Pertama, soal pesangon yang bakal dikurangi. Kedua, masalah jam kerja yang bakal diubah terkait pembayaran upah berdasarkan per jam.

 

“Sepertinya tak ada lagi upah minimum kabupaten/kota. Kalau perhitungan per jam, itu akan berdampak terhadap pesangon,” ujarnya

 

Ketiga, penggunaan tenaga kerja asing (TKA) bakal diperluas jenis pekerjaannya. Menurutnya, selama ini pekerja asing harus memiliki kemampuan (skill) tertentu dan jabatan tertentu, seperti hanya boleh mengisi posisi level manajer. Namun faktanya di Kalimantan dan Sulawesi tenaga kerja asing merata berasal dari Tiongkok.

 

Keempat, persoalan outsourcing dibuka bagi semua jenis pekerjaan. Kelima, pemutusan hubungan pekerjaan (PHK) bakal mudah dilakukan. Keenam, pemagangan diperlakukan sebagai pekerja biasa. Ketujuh, berkurangnya manfaat jaminan sosial. Kedelapan, hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha. Kesembilan, hubungan kerja yang fleksibel (luwes). 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait