Advokat Ini Bicara Soal Dampak Putusan MK tentang Eksekusi Jaminan Fidusia
Utama

Advokat Ini Bicara Soal Dampak Putusan MK tentang Eksekusi Jaminan Fidusia

Mempertanyakan efisensi penanganan sengketa di pengadilan antara kreditur dan debitur jika nilai jaminan fidusianya tidak begitu besar.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Sebuah diskusi bertopik “MK Larang Perusahaan Leasing Sita Barang Sepihak, Lalu Apa Solusi Untuk Pebisnis, Rabu (15/1), di Jakarta. Foto: DAN
Sebuah diskusi bertopik “MK Larang Perusahaan Leasing Sita Barang Sepihak, Lalu Apa Solusi Untuk Pebisnis, Rabu (15/1), di Jakarta. Foto: DAN

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menafsir Pasal 15 ayat 2 dan 3 Undang-Undang 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menimbulkan sejumlah dampak. Tidak hanya bagi lembaga pembiayaan yang tidak dapat lagi melakukan eksekusi serta merta terhadap jaminan kebendaan bergerak berdasarkan akta fidusia jika suatu saat debitur melakukan wanprestasi, tapi hal ini juga berpotensi menimbulkan beban perkara baru bagi pengadilan negeri.

 

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Ricardo Simanjuntak, mengungkapkan sejumlah dampak yang bisa timbul akibat adanya putusan MK ini. Ketika kreditur tidak lagi dapat melakukan eksekusi serta-merta saat terjadi cidera janji maka hal ini akan berdampak pada terganggunya iklim bisnis di sektor keuangan yang menggunakan jaminan kebendaan bergerak seperti fidusia.

 

Ricardo menjelaskan, salah satu alasan kehadiran konsep sita eksekutorial terhadap jaminan kebendaan bergerak karena adanya ketidakpastian dalam eksekusi putusan perdata di Indonesia. Ia bahkan menyebutkan temuan terakhir dari LeIP yang mengatakan bahwa mekanisem eksekusi jaminan kebendaan di Indonesia itu sulit.

 

“Ini menjadi salah satu persoalan enforching kontrak jika dihubungkan dengan EoDB,” ujar Ricardo dalam sebuah diskusi terkait putusan MK tentang Jaminan Fidusia, Rabu (15/1), di Jakarta.

 

Kemudian, Ricardo menilai jumlah lembaga pembiayan yang tidak sedikit di masyarakat dengan potensi sengketa di pengadilan yang timbul akibat adanya putusan MK ini menimbulkan persoalan baru. Apakah pengadilan memiliki sumber daya yang cukup untuk mengurusi sengketa antara kreditur dan debitur ini. Ia juga mempertanyakan efisiensi penanganan sengketa di pengadilan antara kreditur dan debitur jika nilai jaminan fidusianya tidak begitu besar.

 

“Apakah untuk barang yang 5 juta atau 10 juta harus dilakukan dengan cara begini? Pengadilan akan membutuhkan jurusita yang banyak untuk itu,” terang Ricardo.

 

Menurut Ricardo, ke depan pengadilan negeri sudah harus siap-siap membangun mekanisme eksekusi yang mudah dan transparan. Hal ini relevan jika dibandingkan dengan kenyataan bahwa enforching kontrak yang masih banyak kendalanya. Ia berharap segera ada pengadilan yang sangat responsif menangani sengketa antara kreditur dengan debitur.

Tags:

Berita Terkait