Tiga Catatan Penting Soal Target Prolegnas 2020
Berita

Tiga Catatan Penting Soal Target Prolegnas 2020

PSHK menilai penetapan 54 RUU Prolegnas 2020 ini masih terlalu banyak dan tidak realistis untuk diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun ini. Tapi, apapun mekanisme yang dipilih DPR dan Pemerintah, proses pembahasan RUU harus selalu mengedepankan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, DPD telah menetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 berisi daftar 54 RUU prioritas pembahasan dalam setahun ke depan. Empat RUU berstatus carry over atau kelanjutan periode pemerintahan sebelumnya yakni RUU KUHP, RUU Perubahan atas UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, RUU Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, dan RUU Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

 

Namun, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengkritik penetapan 54 RUU itu yang dinilainya masih terlalu banyak dan tidak realistis untuk diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun ini. PSHK mencatat bercermin pengalaman pemerintahan periode 2014-2019, target penyelesaian 50 RUU tidak pernah tercapai. Misalnya, pada 2017, DPR dan Pemerintah hanya berhasil mengesahkan 6 RUU. Pada 2018, DPR dan pemerintah hanya berhasil mengesahkan 5 RUU. Pada 2019, dari target 55 RUU, DPR dan Pemerintah hanya dapat mengesahkan 14 RUU.

 

“Masih tingginya target penyelesaian RUU Prolegnas 2020 ini menunjukkan DPR dan Pemerintah tidak melakukan refleksi atas kinerja legislasi mereka selama ini,” ujar Direktur Pengembangan Organisasi dan SDM PSHK, Rizky Argama saat dikonfirmasi, Senin (20/1/2020). Baca Juga: Pembentuk UU Revisi Prolegnas Prioritas 2020, Ini Daftarnya!   

 

Rizky menilai substansi sejumlah RUU berpotensi saling beririsan, tumpang tindih, atau tidak memiliki urgensi untuk diatur undang-undang (UU). Dia menyebut RUU yang berpotensi memiliki irisan atau tumpang tindih substansi yaitu RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. “Potensi tumpang tindih substansi tidak hanya antara kedua RUU itu, tetapi juga dengan UU lain yang sudah ada, salah satunya UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,” kritiknya.

 

Beberapa RUU lain juga patut dipertanyakan terkait urgensi pengaturannya dalam UU, seperti RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila; RUU Kefarmasian; RUU Pendidikan Kedokteran; RUU Profesi Psikologi; RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama. Dia melihat dari judulnya saja, substansi sejumlah RUU itu bisa jadi telah diatur secara umum dalam beberapa UU yang telah ada, seperti UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Pendidikan Tinggi, UU Hak Asasi Manusia, KUHP.

 

“DPR dan Pemerintah seharusnya tak hanya menyajikan daftar judul RUU, tetapi juga menyediakan naskah akademik dan draf setiap RUU yang dapat diakses publik. Agar publik dapat dengan jelas menilai apakah substansi atau materi muatan yang diatur RUU itu cukup layak (urgent/penting) diatur dalam level UU,” kata pria yang akrab disapa Gama ini.

 

Selain itu, Prolegnas Prioritas 2020 mencantumkan 4 RUU omnibus law, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Ibukota Negara, dan RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang diajukan Pemerintah, serta RUU Kefarmasian yang diajukan DPR. Menurut PSHK, omnibus law seolah menjadi jargon bagi Pemerintah dan DPR untuk mengatasi berbagai persoalan regulasi sejumlah bidang yang proses pembentukannya cenderung singkat dan mampu membatalkan atau mengubah banyak peraturan sekaligus.

Tags:

Berita Terkait