Cerita Advokat Saat Menggunakan Sistem E-Court
Utama

Cerita Advokat Saat Menggunakan Sistem E-Court

Dua advokat ini memiliki pengalaman berbeda saat menggunakan e-court. Lalu, apakah sistem persidangan melalui e-court dan e-litigasi masih ada kelemahan?

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS

Sidang e-litigasi (online) telah berlaku di seluruh pengadilan negeri, agama, dan PTUN sejak 2 Januari 2020 sebagai implementasi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik. Perma ini melengkapi berlakunya Perma No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik (e-court) yang terbit pada 13 Juli 2018.

 

Sejak Juli 2018 hingga 30 Desember 2019, MA telah mencatat jumlah advokat terdaftar menggunakan sistem e-court totalnya sebanyak 26.079 advokat. Namun, jumlah advokat terverifikasi atau telah melalui proses pengecekan totalnya sebanyak 24.044 advokat sebagai pengguna yang resmi masuk sistem e-court di 30 Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia. (Baca Juga: 24 Ribuan Advokat Resmi Masuk Sistem E-Court)     

 

Salah satu advokat pengguna e-court, Mohammad Agus Riza Hufaida menceritakan pengalamannya saat menggunakan sistem e-court. Dia mengaku pertama kali menjadi pengguna e-court terdaftar pada April 2019 saat mendapat klien yang berdomisili di wilayah hukum PN Palembang. “Awalnya, saya mendaftar e-court dibantu petugas di PN Palembang, tetapi lama belum terverifikasi,” kata Riza kepada Hukumonline, Rabu (15/1/2020).        

 

Advokat yang berkantor di Riza Hufaida & Partner ini melanjutkan saat mendapat klien yang bersidang di Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan, dirinya kembali mendaftarkan e-court. “Yang pertama kali daftar (PN Palembang, red) belum terverifikasi, tetapi yang kedua sudah terverifikasi. Saat mendaftarkan e-court sebagai pengguna terdaftar hingga terverifikasi memakan waktu 1-2 hari,” kata Riza.

 

Dia mengaku belum pernah menggunakan sistem e-litigasi (sidang online) meskipun sudah resmi menjadi pengguna e-court. Sebab, penggunaan e-litigasi bisa dilakukan jika pihak lawan/terkait lain juga menjadi pengguna e-court yang didalamnya ada sistem e-litigasi. “Saat menangani perkara di PA Jakarta Selatan, saya hanya mendaftarkan perkara menggunakan e-court, setelah itu persidangan seperti biasa di ruang sidang,” kata dia.

 

Saat mendaftarkan perkara melalui sistem e-court, Riza mengaku kesulitan saat membayar biaya panjar (e-SKUM) dalam sistem e-court. Saat membayar biaya panjar, dia hanya membayar sesuai jumlah yang ada di e-SKUM. Saat sidang dimulai, panitera memberi tahu biaya panjar ada kekurangan dan pembayaran panjar harus dilebihkan Rp1.500 atau Rp2.500.

 

“Memang sih biaya panjar yang tercantum dalam sistem aplikasi lebih murah ketimbang biaya panjar biasanya. Tetapi, tetap saja seharusnya sudah diperhitungkan dalam sistem. Tapi, hal itu tidak ada keterangan di aplikasi. Akhirnya sidang di skors dulu untuk membayar biaya panjar ke kasir. Saya tidak enak dengan klien karena kebetulan saat itu klien juga ikut sidang, sehingga waktu sidang memakan waktu lebih lama,” keluhnya.  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait