Rasionalitas Mutu Advokat Indonesia
Kolom

Rasionalitas Mutu Advokat Indonesia

​​​​​​​Tidak mungkin air keluar dari batu karena batu tidak memproduksi air. Tidak mungkin lahir sesuatu dari ketiadaan. Maka tidak mungkin lahir karya terbaik advokat dari advokat yang tak bermutu.

Bacaan 2 Menit
Mancur F Sinaga. Foto: Istimewa
Mancur F Sinaga. Foto: Istimewa

Di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan status advokat sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Status tersebut sederajat dengan aparat penegak hukum lainnya, yakni: hakim, jaksa, dan polisi.

 

Kesejajaran dimaksud baik dilihat dalam posisinya yang strategis ikut menentukan tujuan hukum yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Maka eksistensi advokat tidak boleh tidak harus mendapat perhatian yang sangat serius dari semua pihak, terutama dari negara, yang keseluruhannya demi memastikan profesi ini ikut berkontribusi dalam terciptanya masyarakat beradab hukum yang adil, bukan sebaliknya.

 

Ungkapan "Let's kill all the lawyers'' oleh William Shakespeare dalam sebuah adegan seninya telah lama dimaknai keliru oleh banyak orang. Kalimat itu sesungguhnya merupakan ungkapan Dick The Butcher yang adalah seorang pengikut pemberontak Jack Cade yang berniat menggulingkan kekuasaan Raja Henry VI saat itu.

 

Membunuh semua ahli hukum menurut pemberontak ini adalah satu-satunya jalan untuk merebut kekuasaan. Maklum pengacara dan ahli hukum pada zaman itu identik dengan pemberani yang cerdas yang tak akan membiarkan kelaliman terjadi. Kalimat singkat tersebut oleh Shakespeare merupakan pujian dan sikap hormatnya kepada ahli hukum bahwa karena peran mereka seperti pengacara dan hakimlah keadilan dapat hadir dalam masyarakat.

 

Sayangnya kemudian, di berbagai belahan dunia jamak terdengar perilaku-perilaku negatif advokat yang bertolak belakang dari latar belakang sejarah keberadaannya. Satu pujian legendaris di atas pun dilumat habis oleh sindiran-sindiran lain kemudian. Berikut ini adalah kutipan kalimat yang menunjukkan makna sebaliknya dari Shakespeare di atas: Edward Ward: A good lawyer is a great liar. Charles Caleb Colton: "Lawyers Are": A chimney-sweeper who has no objection to dirty work, because it is his trade. Benjamin Franklin: A countryman between two lawyers is like a fish between two cats. Ada juga parodi yang sangat menggelitik ketika a man was prosecuted,  the judge asked him, "Don't you need a lawyer?" To which he replies, "No, I don't need any, I'm going to tell the truth."

 

Adalah kontradiksi yang amat naïf karena terlalu banyak lagi sindiran yang ditujukan kepada profesi ini. Di Indonesia pun, kita kekurangan bahkan krisis tokoh pioneer hukum dari kalangan advokat itu sendiri. Sebaliknya, sesekali nama advokat menonjol ke pemberitaan lebih karena ikut terlibat dalam konspirasi pelanggaran hukum, obstruction of justice, dan perilaku-perilaku lain yang tak mencerminkan kedewasaan pribadi dan intelektualitas.

 

Proses Menjadi Advokat

Seperti profesi hakim, profesi advokat disebut sebagai profesi mulia (officium nobile). Sebuah “lebeling” dan identikasi yang terdengar agung, sekaligus menggugat tanggungjawab. Penyandang profesi ini layak berbangga hati sebagai manusia karena kualitas mulialah puncak kualitas kemanusiaan (acme). Namun apakah penyematan officium nobile itu sebagai cita-cita yang dituju setiap advokat (telos) atau kualifikasi-kualitas yang harus melekat (inherent) pada diri setiap advokat? Sejauh ini, tidak nampak menonjol bukti-bukti yang memperlihatkan bahwa setiap penyandang profesi advokat adalah berkualitas mulia sebagaimana mestinya di Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait