​​​​​​​Kisah Perjuangan Konstitusional Mahasiswa dari Tujuh Kampus
Mahasiswa Bergerak

​​​​​​​Kisah Perjuangan Konstitusional Mahasiswa dari Tujuh Kampus

​​​​​​​Inilah salah satu potret mahasiswa yang memperjuangkan masa depan setelah mereka lulus. UU Pendidikan Tinggi berkali-kali dimohonkan uji oleh mahasiswa. Hasilnya?

Oleh:
Normand Edwin Elnizar/Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Ketika permohonan ini diregister di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 26 September 2012, para pemohonnya tercatat sebagai mahasiswa. Aris Winarto dari Universitas Negeri Surabaya; Achmad Hawanto dari Universitas Negeri Malang; Heryono dari Universitas Kanjuruhan Malang; Mulyadi dari STKIP PGRI Pacitan; Angga Damayanto dari Universitas Negeri Jakarta, M. Khoirur Rosyid dari IAIN Sunan Apel Surabaya, dan Siswanto dari STAI Raden Rahmat Malang.

 

Meskipun kampus mereka saling berjauhan, terpisah jarak yang jauh, ketujuh mahasiswa ini dapat menyatukan diri dalam satu kepentingan dan memberikan kuasa kepada firma hukum yang sama. Dengan menunjuk Sholeh & Partners, ketujuh mahasiswa kompak mempersoalkan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Mereka memohonkan pengujian Pasal 9 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

 

Pada dasarnya para pemohon ingin memperjuangkan masa depan lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, wadah pendidikan mereka yang akan menjadi guru. Bagaimanapun, keinginan menjadi guru umumnya berkat dorongan hati nurani, dalam arti sejak awal orang yang mengambil program studi tenaga kependidikan punya keinginan kuat menjadi guru.

 

Baca:

 

Aris Winarto dan kawan-kawan berpandangan bahwa sebaiknya yang boleh diangkat menjadi guru adalah mereka yang sudah lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Lulusan LPTK inilah yang dapat menjadi guru profesional karena selain dididik khusus menjadi tenaga kependidikan, umumnya mereka yang masuk ke sini karena panggilan hati nurani. Pasal 9 UU Guru dan Dosen dianggap para pemohon justru membuka peluang masuknya sarjana non-kependidikan menjadi guru.

 

Membuka ruang bagi non-kependidikan menjadi guru justru mengganggu hak konstitusional para pemohon yang berstatus mahasiswa. Aturan itu mempersempit ruang bagi para pemohon untuk menjadi guru setelah lulus. Untuk memperkuat pandangan mereka, para pemohon mengajukan ahli Gempur Santoso. Sebaliknya, Pemerintah mengajukan ahli dari Universitas Indonesia, Prof. Frieda Mangunsong.

 

Argumentasi para pemohon ini ditepis Mahkamah Konstitusi. Dalam amar Putusan No. 95/PUU-X/2012 majelis hakim menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya karena pokok permohonan tidak beralasan hukum. Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat hukum bahwa seseorang yang bukan lulusan LPTK tidak secara serta merta dapat menjadi guru. Sebab, sudah ada persyaratan formal untuk menjadi guru, sebagaimana disebut dalam Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 11 UU Guru dan Dosen. Misalnya, syarat kompetensi dan sertifikasi.

Tags:

Berita Terkait