​​​​​​​Langkah Mahasiswa Hukum yang Membuat Para Tokoh Turun Gunung
Mahasiswa Bergerak

​​​​​​​Langkah Mahasiswa Hukum yang Membuat Para Tokoh Turun Gunung

​​​​​​​Inilah permohonan uji materi yang diajukan mahasiswa yang mengundang keterlibatan banyak pihak.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar/M-30
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Coba simak fakta berikut. Permohonan diregister di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 4 Juli 2014, dan putusan majelis dibacakan pada 18 Juni 2015. Representasi enam organisasi keagamanan di Indonesia memberikan pendapat di persidangan. Front Pembela Islam, Tim Advokasi Kebhinekaan, dan Majelis Ulama Indonesia ikut sebagai Pihak Terkait. Pemohon menghadirkan 2 orang ahli dan dua orang saksi.

 

Berdasarkan penelusuran Hukumonline tidak ada permohonan uji materi di mana pemohonannya antara lain mahasiswa yang melibatkan begitu banyak pihak selain dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Organisasi besar keagamaan seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia. Tak hanya itu, ada juga pihak terkait Front Pembela Islam (FPI), dan Tim Advokasi Kebhinnekaan. Masing-masing lembaga ini diwakili tokoh-tokohnya, memberikan pendapat berkaitan dengan permohonan para pemohon.

 

Pemohonnya adalah empat orang: tiga orang konsultan hukum dan satu orang mahasiswa. Saat permohonan ini diajukan pada 2014, Anbar Jayadi berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia bersama-sama Damian Agatha Yuvens, Rangga Sujud Widigda dan Luthfi Sahputra mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (kini sudah direvisi menjadi UU No. 16 Tahun 2019—red). (Baca Serial Lengkap Mahasiswa Bergerak)

 

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan ‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu’. Ada dua tingkatan dalam rumusan ini. Tingkat pertama, keabsahan perkawinan ditetapkan oleh hukum nasional yang didasarkan pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Tingkatan kedua, penilaian terhadap keabsahan perkawinan dilakukan oleh masing-masing agama dan kepercayaan. Meskipun bisa dibedakan tingkatannya, esensinya kedua tingkatan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

 

Para pemohon mempersoalkan tafsir negara terhadap perkawinan yang sah. Perkawinan yang dilakukan di luar tafsir negara menjadi tidak sah. Substansi permohonan ini dinilai berkaitan dengan keabsahan perkawinan beda agama. Dalam permohonannya, para pemohon mengusulkan agar ada tambahan frasa pada Pasal 2 ayat (1) sehingga berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sepanjang penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai”. Menurut para pemohon, rumusan demikian tidak menghilangkan aspek religius perkawinan.

 

Hukumonline.com

 

Dalam amar Putusan No. 68/PUU-XII/2014, majelis hakim MK menyatakan para pemohon—termasuk yang berstatus mahasiswa, mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan. Pada akhirnya, Mahkamah menolak permohonan untuk seluruhnya karena permohonan dinilai tidak beralasan menurut hukum.

 

Baca juga:

Tags:

Berita Terkait