Plus-Minus Omnibus Law di Mata Pakar
Berita

Plus-Minus Omnibus Law di Mata Pakar

Ada kekhawatiran pembentukan omnibus law menimbulkan masalah baru karena metode ini lazimnya diterapkan di negara-negara common law. Namun, omnibus law ini bisa menjadi solusi tumpang tindih dalam penataan regulasi di Indonesia baik dalam hubungan hierarki sejajar horizontal maupun vertikal.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi omnibus law. Hol
Ilustrasi omnibus law. Hol

Pasca  pidato pelantikan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019, istilah omnibus law (penyederhanaan regulasi) semakin populer. Pembentukan sejumlah RUU Omnibus Law – yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020 menjadi program unggulan Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin demi menggenjot pertumbuhan ekonomi. 

 

Sejumlah kalangan mengkritik pembentukan omnibus law ini dengan beragam alasan dan argumentasi. Tak sedikit kalangan mendukung pembentukan omnibus law ini sebagai salah satu strategi reformasi regulasi mengatasi kondisi obesitas/hiper regulasi, khususnya di sektor kemudahan berusaha. Masyarakat sipil, organisasi buruh, hingga pakar hukum sudah memberi pandangannya terkait omnibus law sebagai metode penyusunan satu regulasi (UU) baru sekaligus menggantikan/menghapus beberapa pasal dalam satu regulasi atau lebih yang berlaku.  

 

Bahkan, dua pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof Maria Farida Indrati dan Prof Jimly Assidiqie sudah dimintai pandangannya mengenai omnibus law saat rapat dengan pendapat umum dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR pada November-Desember 2019 lalu, dan beberapa pakar lain dalam kesempatan yang berbeda. Berikut petikan beragam pandangan pakar yang berhasil dihimpun Hukumonline.

 

  1. Prof Maria Farida Indrati         

Dalam kesempatan itu, Maria menyampaikan keberatannya terhadap pembentukan RUU Omnibus Law ini. Saya mohon maaf, saya katakan lebih baik tunggu dulu (membuat omnibus law, red). Jangan sampai ini nantinya menjadi permasalahan,” kata Maria saat dimintai pandangannya terkait penyusunan RUU Omnibus Law di ruang Baleg DPR. Baca Juga: Kekhawatiran Maria Farida Terkait Omnibus Law

 

Menurutnya, gagasan pembentukan omnibus law ini lazim diterapkan di negara-negara yang menganut sistem common law. “Jika omnibus law diterapkan justru malah menimbulkan persoalan baru dalam sistem penyusunan peraturan perundang-undangan. Saya khawatir ini malah akan terjadi ketidakpastian hukum dan menyulitkan kita semua,” ujar mantan hakim konstitusi ini.

 

Maria justru mengaku selama puluhan tahun malang melintang di dunia sistem peraturan perundang-undangan, baru mendengar istilah omnibus law. Dia heran, siapa sebenarnya yang pertama kali mendengungkan dan mengusulkan agar menerapkan omnibus law. “Kalau mau mempermudah masuknya investasi, tidak kemudian mengobral agar asing dapat menguasai aset negara serta merta,” kritiknya.

 

Bagi Maria, menyisir puluhan UU bukan perkara mudah yang pengaturan satu UU dengan UU lain berbeda materi dan kewenangannya. “Kalau UU Omnibus Law dari berbagai aturan kita ambil sepotong-sepotong, saya merasa keberatan. Nanti jadinya seperti apa? Tapi, kalau mengambil seluruhnya, tidak sepotong-sepotong saya tidak keberatan. Sebagai orang yang sering berkecimpung di dunia peraturan perundang-undangan, ini bagaimana? Saya khawatir ini malah tidak singkron antara pemerintah dan DPR.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait