Mahasiswa Fakultas Hukum di antara Masalah Politik dan Terorisme
Mahasiswa Bergerak

Mahasiswa Fakultas Hukum di antara Masalah Politik dan Terorisme

​​​​​​​Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi pernah menguji perundang-undangan terkait politik, pemilu, dan pemberantasan terorisme. Bagaimana hasilnya?

Oleh:
Normand Edwin Elnizar/M-30
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Perjuangan mahasiswa Indonesia dalam catatan historis tidak dapat dilepaskan dari masalah politik. Pada masa sekarang, mahasiswa Indonesia juga memperlihatkan kepedulian pada masalah-masalah politik dan hukum nasional. Demonstrasi yang dilakukan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto adalah bagian dari sejarah mahasiswa Indonesia yang berhasil menumbangkan rezim otoriter.

 

Pada skala yang lebih kecil, selalu ada mahasiswa yang memperjuangkan aspirasi masyarakat dan aspirasinya melalui beragam cara. Salah satunya melalui pengujian Undang-Undang terkait politik ke Mahkamah Konstitusi. Hukumonline menelusuri sejumlah permohonan judicial review yang dilakukan baik oleh mahasiswa sendiri maupun bergabung dengan pihak lain.

 

Selain masalah politik, ada juga permohonan yang diajukan berkaitan dengan pemberantasan terorisme dan pemilihan kepala daerah. Inilah beberapa permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, dimana mahasiswa menjadi bagian dari pemohonnya.

 

  1. Pengujian UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ini adalah perkara pertama dan satu-satunya yang melibatkan pemohon mahasiswa dengan hasil putusan dikabulkan seluruhnya. Meskipun dikabulkan, Putusan No. 97/PUU-XI/2013 diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) tiga orang hakim konstitusi yang memilih menolak permohonan. Ketiganya adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi.

 

Pemohon mahasiswa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul yang diwakili Kurniawan, Danny Dzul Hidayat, dan Landipa Nada Atmaja serta Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) yang diwakili Achmad Saifudin Firdaus dan Lintar Fauzi. Mereka semua maju sebagai pemohon bersama Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK).

 

Inti permohonan adalah membatalkan kewenangan MK mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Materi yang diuji adalah Pasal 236C UU Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. MK setuju bahwa rumusan pasal pengalihan kewenangan tersebut dari Mahkamah Agung ke MK bertentangan dengan konstitusi. Pemilihan kepala daerah diakui bukan rezim pemilihan umum nasional yang dimaksud dalam konstitusi sebagai kewenangan MK.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait