Pasca Putusan UU Jaminan Fidusia, Simak Aturan Debtcollector di Beberapa Negara
Utama

Pasca Putusan UU Jaminan Fidusia, Simak Aturan Debtcollector di Beberapa Negara

Pengadilan perlu menyiapkan diri menerima permohonan eksekusi. Perlu ada pedoman teknis eksekusi hingga profesionalitas jasa debt collector.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi eksekusi jaminan fidusia akibat cidera janji. Ilustrator: HGW
Ilustrasi eksekusi jaminan fidusia akibat cidera janji. Ilustrator: HGW

Apa saja dampak yang akan terjadi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai ‘kekuatan eksekutorial’ atas jaminan fidusia? Secara final dan mengikat MK mengubah aturan main eksekusi jaminan fidusia lewat Putusan No. 18/PUU-XVII/2019. Tidak ada jalan mundur karena tafsir sudah diberikan.

Bagi mereka yang berada pada posisi debitor, putusan Mahkamah Konstitusi itu mungkin  menjadi solusi atas problem hak konstitusional. Mekanisme izin eksekusi dari pengadilan melindungi hak mereka dari kesewenang-wenangan cara penagihan atau penarikan. Bagi pelaku usaha pembiayaan selaku kreditor, putusan itu tentu sebagai hambatan baru dalam berbisnis. Tidak mudah lagi bagi mereka untuk mengurangi risiko kerugian.

Namun, jika ditelisik lebih jauh putusan Mahkamah bukan tanpa imbas ke pengadilan. Jika setiap penarikan benda jaminan akibat cidera janji harus melalui pengadilan, maka pengadilan berpotensi kebanjiran permohonan eksekusi jaminan fidusia. Transaksi pembelian kendaraan bermotor melalui perusahaan pembiayaan terbilang banyak. Ini berarti pengadilan negeri harus siap menerima permohonan eksekusi atas jaminan fidusia dari perusahaan pembiayaan.

MK secara jelas menetapkan hal itu dalam putusannya. “….terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitor keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

Ada dua syarat kumulatif yang disebutkan. Pertama, tidak ada kriteria wanprestasi yang disepakati kreditor dan debitor dalam isi perjanjian mereka. Kedua, debitor enggan objek jaminan fidusia disita kreditor. Pengadilan menjadi penengah untuk memberikan izin eksekusi saat syarat-syaratnya terpenuhi.

(Baca juga: Peta Pandangan Para Pihak Sebelum Putusan MK tentang Jaminan Fidusia).

Siapkah pengadilan menerima pekerjaan ekstra? Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima 1.871 aduan sepanjang tahun 2019. Tercatat pengaduan konsumen produk jasa finansial mencapai 46,9 persen yang meliputi komoditas bank, uang elektronik, asuransi, leasing (sewa guna usaha), dan pinjaman daring.

Komoditas leasing adalah bisnis dari perusahaan pembiayaan. Para debitor dianggap YLKI sebagai konsumen karena sejak awal berniat membeli secara angsuran. Maka dalam ribuan aduan tersebut termasuk pula debitor jaminan fidusia yang menuntut keadilan. Jumlah yang tidak tercatat mungkin lebih banyak.

Tags:

Berita Terkait