12 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Cipta Lapangan Kerja
Berita

12 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RUU Cipta Lapangan Kerja

Karena dianggap memberikan keistimewaan dan kekebalan hukum bagi pengusaha.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar unjuk rasa menolak RUU Cipta Lapangan Kerja di Gedung DPR Jakarta, Senin (13/1) lalu. Foto: RES
Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menggelar unjuk rasa menolak RUU Cipta Lapangan Kerja di Gedung DPR Jakarta, Senin (13/1) lalu. Foto: RES

Sekitar 40 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menolak program pemerintah menerbitkan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka). Mereka diantaranya LBH Jakarta, YLBHI, ICW, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), ICEL, Walhi, Jatam, Green Peace, AMAN, LBH Pers, Solidaritas Perempuan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia, Huma, Indonesia for Global Justice (IGJ). 

 

Salah satu perwakilan FRI, Pengacara publik LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan setidaknya 12 alasan Koalisi menolak RUU Cilaka ini. Pertama, RUU Cilaka diyakini bakal melegitimasi investasi yang merusak lingkungan dan tidak mensejahterakan masyarakat. Ini terjadi karena pemerintah tidak selektif dalam menarik investasi yang masuk ke Indonesia. Investor yang masuk berpotensi memperluas eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan.

 

Kedua, proses penyusunan RUU Cilaka cacat prosedur karena dilakukan tertutup tanpa partisipasi masyarakat sipil. Buktinya, sampai saat ini masyarakat sipil tidak dapat mengakses naskah akademik dan draft RUU omnibus law. Lebih mengerikan lagi, kata Citra, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan RUU Cilaka segera dibahas dalam 100 hari kerja.

 

“Ini melanggar Pasal 89 jo 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mewajibkan pemerintah membuka akses segala rancangan peraturan perundang-undangan untuk masyarakat,” kata Citra dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (30/1/2020). Baca Juga: 10 Usulan Buruh untuk RUU Cipta Lapangan Kerja

 

Ketiga, Satgas Omnibus Law yang dibentuk pemerintah bersifat eksklusif dan elitis, sehingga tidak mengakomodasi kelompok masyarakat terdampak atas RUU Cilaka. Citra mencatat dari 138 anggota Satgas sebagian besar berasal dari kalangan pemerintah dan pengusaha.

 

Keempat, menarik kewenangan perizinan dari daerah ke pusat. Koalisi menilai kebijakan ini menciderai otonomi daerah yang berjalan sejak reformasi. Beberapa kewenangan perizinan di daerah yang bakal ditarik ke pusat antara lain, kewenangan pemerintah provinsi mengelola mineral dan batubara, termasuk penerbitan perda dan izin. Padahal, UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah mendelegasikan berbagai kewenangan tersebut kepada pemerintah daerah. Sentralisasi perizinan ini menjauhkan pelayanan publik dan menyulitkan penyampaian aspirasi masyarakat.

 

Kelima, celah korupsi semakin lebar dan hak rakyat untuk menggugat terancam hilang. Citra menyebut praktik KKN di sektor perizinan belum mampu dibenahi pemerintah sekalipun telah menerbitkan PP No.24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (OSS). Tapi pemerintah berdalih sistem OSS itu tidak berjalan optimal karena tumpang tindih peraturan perizinan pusat dan daerah, sehingga omnibus law diperlukan untuk membenahi regulasi yang dianggap sebagai hambatan itu.

Tags:

Berita Terkait