Dua Lembaga Ini Kritisi Isu RUU Cipta Lapangan Kerja
Berita

Dua Lembaga Ini Kritisi Isu RUU Cipta Lapangan Kerja

Mulai perubahan rezim perizinan menjadi standar, pengupahan, pembenahan serikat pekerja. Draft RUU Cipta Lapangan Kerja perlu dikritisi seluruh pemangku kepentingan agar pemerintah mendapat masukan yang terbaik.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Hingga kini, banyak pihak yang kesulitan mengakses draft RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Padahal, publik penasaran ingin mengetahui isi RUU tersebut untuk memberi masukan kepada pemerintah. Kesulitan mengakses RUU itu tidak hanya dari kalangan masyarakat sipil, tapi juga lembaga negara seperti Ombudsman dan Komnas HAM.

 

Komisioner Ombudsman RI Alamsyah Saragih menegaskan lembaganya kesulitan mengakses draft RUU Cipta Lapangan Kerja sekalipun telah melayangkan surat secara resmi kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Menurutnya, rencana omnibus law ini muncul karena paket kebijakan ekonomi yang pernah dijalankan pemerintahan periode 2014-2019 tidak berbuah hasil sesuai yang diharapkan.

 

Salah satu penyebabnya yakni banyaknya regulasi, sehingga terjadi tumpang tindih peraturan. Melalui RUU Cipta Lapangan Kerja, pemerintah akan mengganti konsep perizinan menjadi standar. Konsekuensinya akan dibutuhkan banyak profesional yang bersertifikat. Misalnya, untuk izin mendirikan bangunan (IMB), pemohon harus mampu memenuhi standar yang ditentukan untuk mendapat sertifikat.

 

Alih-alih menyederhanakan peroses perizinan, Alamsyah menilai penetapan standar itu malah berpotensi meningkatkan ongkos perizinan. Tidak ada jaminan mekanisme penerapan standar itu dapat menghilangkan moral hazard (resiko moral) karena prosesnya melibatkan profesional.

 

“Biaya makin meningkat dan memunculkan bisnis sertifikasi,” kata Alamsyah dalam diskusi di kantor Komnas HAM Jakarta, Kamis (30/1/2020). Baca Juga: Jimly: Omnibus Law Pertama Semestinya RUU Pemindahan Ibukota Negara

 

Menurut Alamsyah, rezim standar membutuhkan pengawasan yang lebih ketat karena sifatnya bukan preventif. Pemerintah perlu memiliki petugas aparat yang cukup untuk mengecek apakah kegiatan usaha yang berjalan sudah memenuhi standar yang ditetapkan. Tugas pemerintah jika rezim perizinan diganti dengan standar yakni menyiapkan aparat untuk melayani publik yang ingin sesuai atau memenuhi standar dimaksud.

 

“Apakah birokrasi siap melakukan ini? Banyak laporan yang masuk ke Ombudsman paling banyak soal pengawasan yang lemah,” ungkapnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait