Legal Standing dan Kualifikasi Pemohon dalam Judicial Review, Apa Bedanya MK dan MA?
Berita

Legal Standing dan Kualifikasi Pemohon dalam Judicial Review, Apa Bedanya MK dan MA?

Kualifikasi pemohon pengujian UU sudah menjadi yurisprudensi tetap.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi gedung MK dan MA. Ilustrator: HGW
Ilustrasi gedung MK dan MA. Ilustrator: HGW

Legal standing dan kualifikasi pemohon dalam pengujian jenis peraturan perundang-undangan sangat penting dan selalu dipertimbangkan majelis hakim. Tidak memiliki legal standing membawa konsekuensi permohonan tidak dapat diterima, dan substansi permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Kualifikasi pemohon berkaitan dengan pertanyaan apakah pemohon memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Meskipun sama-sama mempertimbangkan legal standing dan kualifikasi pemohon, ada perbedaan di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Sesuai dengan UUD 1945, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman. Namun ada perbedaan kewenangan kedua lembaga ini dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian peraturan perundang-undang di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Misalnya, menguji Peraturan Presiden dengan menggunakan batu uji Undang-Undang.

(Baca juga: Jimly Asshiddiqie: MK Wajib Teliti Legal Standing Pemohon Uji Materi UU KPK).

Siapa yang menjadi pemohon judicial review (JR) Undang-Undang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi. Disebutkan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu perorangan Warga Negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam Undang-Undang; badan hukum publik dan privat; atau lembaga negara.

Lalu, pemohon JR peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang diatur dalam Pasal 31A ayat (2) UU Mahkamah Agung. Disebutkan bahwa permohonan hanya bisa diajukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan akibat berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yaitu perorangan Warga Negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam Undang-Undang; atau badan hukum publik atau badan hukum privat. Dalam UU Mahkamah Agung, lembaga negara tak disebut sebagai pemohon yang memiliki standing untuk mengajukan JR.

Berkaitan dengan kualifikasi pemohon, Mahkamah Konstitusi sudah membuat kriteria baku melalui putusan No. 006/PUU-III/2005 juncto putusan MK No. 11/PUU-V/2007. Putusan ini terus menerus diikuti hingga kini sehingga sudah dianggap menjadi yurisprudensi tetap. Ada lima kriteria yang digunakan Mahkamah Konstitusi. Pertama, adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Kedua, hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh para pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. Ketiga, kerugian konstitusional pemohon dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan actual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial berdasarkan penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat, adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Kelima, adanya kemungkinan bahwa dengan diakabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Dalam praktek tidak semua lembaga negara atau organisasi boleh mengajukan JR. Pada 2015 silam, Mahkamah Konstitusi menyatakan Partai Kebangkitan Bangsa tidak memiliki legal standing mengajukan pengujian UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif karena perwakilan partai ini ikut membahas UU tersebut di Senayan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait