Kiara Kritik Omnibus Law Hingga 19 Pegawai Honorer ‘Gugat’ UU ASN
Berita

Kiara Kritik Omnibus Law Hingga 19 Pegawai Honorer ‘Gugat’ UU ASN

Artikel lain yakni perbedaan legal standing dan kualifikasi pemohon dalam judicial review di MK dan MA MA; dua Perpres berbeda dalam pengangkatan Pimpinan KPK; hingga pembentukan Pansus Jiwasraya tergantung keputusan rapat paripurna.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Isu penyusunan omnibus law masih menarik perhatian pembaca Hukumonline pada Kamis (6/2). Namun, ada sejumlah isu lain yang tak kalah menarik dari isu omnibus law. Mulai perbedaan legal standing dan kualifikasi pemohon dalam judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA); dua Perpres berbeda dalam pengangkatan Pimpinan KPK; sejumlah pegawai honorer melayangkan uji materi UU ASN; hingga pembaruan pajak Indonesia-Singapura.         

 

Berikut lima artikel yang masih menarik untuk dibaca:

 

  1. 7 Kritik Kiara untuk Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja

Kiara menilai omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja penting untuk dikritisi karena dirasa bukan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Kiara mencatat sedikitnya ada 7 hal yang perlu disoroti terkait omnibus law RUU Cilaka ini. Diantaranya, nelayan kecil dan tradisional yang menggunakan perahu di bawah 10 GT (Gross Tonnage) dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan harus mengurus perizinan perikanan tangkap.

 

Kebijakan ini akan memberi kemudahan perizinan bagi kapal asing untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. pembangunan pelabuhan skala besar di kawasan pesisir akan lebih masif. Selain itu, pembangunan pelabuhan skala besar di kawasan pesisir akan lebih masif.

 

Selengkapnya baca artikel ini.  

 

  1. Legal Standing dan Kualifikasi Pemohon dalam Judicial Review, Apa Bedanya MK dan MA

Ada perbedaan legal standing dan kualifikasi pemohon dalam pengujian jenis peraturan perundang-undangan baik di MK maupun di MA. Sebab, jika pemohon tidak memiliki legal standing membawa konsekuensi permohonan tidak dapat diterima, dan substansi permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut. Meskipun sama-sama mempertimbangkan legal standing dan kualifikasi pemohon, namun ada perbedaan kewenangan kedua lembaga ini dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan.

 

Selengkapnya baca artikel ini.   

 

  1. Dua Keppres Berbeda dalam Pengangkatan Pimpinan KPK

Di balik penetapan kelima pimpinan KPK periode 2019-2023 menyisakan cerita, khususnya dalam pengangkatan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Ternyata, dari lima pimpinan KPK, empat diantaranya diangkat melalui satu Keppres yakni Keppres Nomor 112/P Tahun 2019 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 21 Oktober 2019. Sedangkan satu pimpinan KPK lainnya diangkat melalui Keppres Nomor 129/P Tahun 2019 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Desember 2019.

 

Keempat pimpinan KPK yang diangkat melalui Keppres Nomor 112/P Tahun 2019 adalah Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nawawi Pamolango dan Lili Pintauli Siregar. Sedangkan Nurul Ghufron diangkat melalui Keppres Nomor 129/P Tahun 2019 dan hanya berbunyi mengenai pengangkatan Nurul Ghufron sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota Pimpinan KPK periode 2019-2023.

 

Khusus Keppres Nomor 129/P Tahun 2019, terdapat Fatwa Mahkamah Agung (MA) yang jadi latar belakang terbitnya Keppres ini. Hal ini sesuai disampaikan melalui Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 333/KMA/HK.005/11/2019 tanggal 12 November 2019 yang menyatakan bahwa Nurul Ghufron telah memenuhi syarat sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan untuk diangkat sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023.

Tags:

Berita Terkait