14 Dissenting Opinions sebagai Pendirian Kuat Hakim Palguna
Utama

14 Dissenting Opinions sebagai Pendirian Kuat Hakim Palguna

Buku ini tidak menutup kemungkinan dapat menjadi pendapat yang diikuti MK di masa mendatang, membuka wacana dan diskursus akademik baru di berbagai kampus dan forum-forum ilmiah di Indonesia.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Foto: Hol
Foto: Hol

Perbedaan pendapat hakim konstitusi saat memutus perkara terkadang tak terhindarkan. Tak sedikit putusan Mahkamah Konstitusi (MK) harus dijatuhkan berdasarkan suara terbanyak. Artinya, ada satu hakim konstitusi atau lebih tidak setuju atau berbeda pendapat dengan mayoritas hakim. Putusan pendapat hakim konstitusi yang berbeda harus dimuat dalam putusan MK sesuai bunyi Pasal 45 ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 yang telah diubah menjadi UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

 

Ada kalanya, seorang hakim konstitusi berbeda pendapat bukan pada seluruh substansi putusan perkara tertentu, melainkan hanya alasan atau pertimbangan hukum tertentu hingga sampai pada amar putusan. Selain itu, ada seorang hakim konstitusi setuju dengan amar putusan yang menjadi mayoritas pendapat hakim. Namun, hakim yang bersangkutan memiliki alasan/pertimbangan hukum berbeda baik seluruhnya maupun sebagian untuk tiba pada amar putusan. Perbedaan pendapat ini disebut concurring opinion.

 

Disssenting opinion sejak dahulu telah lazim dipraktikkan di negara-negara yang menganut sistem common law. Indonesia yang menganut tradisi sistem civil law dengan sebagian corak campuran dari sistem common law. Praktik dissenting opinion untuk pertama kalinya pada 1998. Kemudian, praktik dissenting opinion menemukan “ladangnya” pasca pembentukan MK pada 2003.

 

Memang seringkali dissenting opinion tidak dihiraukan saat putusan dijatuhkan. Namun, tidak menutup kemungkinan dissenting opinion yang awalnya dianggap sebelah mata, justru dapat dirasakan (manfaatnya) di kemudian hari karena menemukan kebenarannya. Nah, seputar pendapat berbeda diulas khusus oleh mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna terhadap sejumlah permohonan pengujian UU yang telah diputus MK lewat bukunya berjudul Dissenting Opinions: Pendapat Berbeda Hakim Konstitusi Palguna.

 

Buku ini telah melalui kajian sekaligus dapat dijadikan pedoman bagi mereka yang tertarik meneliti lebih lanjut. Lalu, sejauh mana kontribusi dan peran Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna selama dua periode yakni 2003-2008 dan 2015-2020 terhadap perkembangan dan dinamika putusan-putusan yang dikeluarkan MK. Baca Juga: Pesan Palguna untuk Hakim Konstitusi Daniel Yusmic

 

Hukumonline.com

 

Terlebih, Palguna pernah terlibat langsung dalam proses perdebatan dan perubahan UUD 1945 pada 1999 saat menjadi anggota MPR dari utusan daerah. Artinya, pemahaman Palguna terhadap original intent yang terkandung dalam amandemen UUD 1945 dapat dikatakan sangat mendalam. Palguna sendiri memiliki latar belakang keilmuan sebagai pengajar hukum internasional. Kemampuan dan wawasannya terhadap teori-teori dan doktrin di ranah hukum internasional cukup berimbang dengan pemahamannya terhadap hukum tata negara. Hanya sedikit akademisi di Indonesia yang menguasai dua bidang hukum tersebut sekaligus.

 

Dalam buku setebal 262 halaman ini telah tersaji 14 dissenting opinions yang pernah ditoreh Palguna dalam berbagai perkara pengujian UU yang diputus MK. Dari dissenting opinions tersebut tidak menutup kemungkinan dapat menjadi pendapat yang digunakan atau diikuti oleh MK di masa mendatang. Tidak tertutup kemungkinan pula dissenting opinions ini setidaknya membuka wacana dan diskursus akademik baru di berbagai kampus dan forum-forum ilmiah di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait