Mengintip Substansi RUU Cipta Kerja
Berita

Mengintip Substansi RUU Cipta Kerja

Terdapat sebelas klaster. Mulai penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM, pengenaan sanksi, investasi dan proyek pemerintah, hingga kawasan ekonomi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol.
Ilustrasi: Hol.

Pemerintah mengubah judul omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja menjadi RUU Cipta Kerja. Keputusan mengganti judul RUU semata-mata hanya soal semantik, tataran analisis bahasa. Dia beralasan dari segi arti antara frasa “Cipta Lapangan Kerja” dengan “Cipta Kerja" menurut ahli bahasa pun berbeda.  

 

“Intinya kita mencari padanan kata yang pas dari job creation yakni cipta kerja tanpa lapangan,” ujar Deputi Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet Satya Bhakti Parikesit saat dikonfirmasi, Senin (10/2/2020).

 

Pernyataan ini pun disampaikan oleh Satya Bhakti Parikesit saat menjadi narasumber diskusi Djokosoetono Research Center bertajuk "Menyikapi Omnibus Law, Pro dan Kontra RUU Cipta Lapangan Kerja" di Balai Sidang UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (6/2/2020) kemarin. Baca Juga: Pemerintah Luruskan Sejumlah Isu Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

 

Terlepas dari diubahnya judul RUU, kata Satya, ada sejumlah substansi dalam RUU Cipta Kerja yang sudah dirancang sedemikian rupa dengan harapan terjadi perubahan struktur ekonomi yang mampu menggerakan semua sektor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 5,7 persen hingga 6,0 persen. Melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi dan produktivitas yang dikuti dengan peningkatan upah.

 

“Arah RUU Cipta Kerja ini simplifikasi atau harmonisasi regulasi dan perizinan guna investasi dan penciptaan kerja berkualitas serta kesejahteraan pekerja yang berkelanjutan dan pemberdayaan UMKM,” kata dia.       

 

Dalam bahan materi yang dipaparkan Satya, substansi RUU Cipta Kerja terdiri dari 11 klaster dengan total 80 UU (1.201 pasal) yang terdampak. Pertama, penyederhanaan perizinan berusaha yang dibagi menjadi 18 subklaster diantaranya perizinan lokasi; perizinan lingkungan; bangunan gedung; sektor pertanian; sektor kehutanan; sektor kelautan dan perikanan; sektor ESDM; sektor ketenagakerjaan; sektor perindustrian; sektor perdagangan; perizinan sektor pariwisata; sektor keagamaan; dan lain-lain. Klaster I ini ada 52 UU terdampak dengan 1.034 pasal.  

 

“Proses perizinan standar dan berbasis (tingkat, red) risiko dan meninggalkan konsepsi kegiatan usaha yang berbasis izin. Tapi, hanya kegiatan usaha yang berisiko tinggi yang wajib memiliki izin. Kegiatan usaha risiko menengah menggunakan standar dan risiko rendah cukup melalui pendaftaran,” kata Satya dalam paparannya.        

Tags:

Berita Terkait