Menguji Konstitusionalitas Pengangkatan Pimpinan Pengadilan Pajak
Berita

Menguji Konstitusionalitas Pengangkatan Pimpinan Pengadilan Pajak

Karena proses pengangkatan ketua dan wakil pengadilan pajak masih melibatkan menteri keuangan termasuk pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan oleh Departemen Keuangan. Majelis meminta para pemohon memperjelas kedudukan hukum, kerugian konstitusional, dan pertentangannya dengan UUD Tahun 1945.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Redno Sri Rezeki, Triyono Martanto, Haposan Lumban Gaol, pemohon prinsipal saat sidang perdana pengujian UU Pengadilan Pajak di ruang sidang MK, Rabu (12/2). Foto: Humas MK
Redno Sri Rezeki, Triyono Martanto, Haposan Lumban Gaol, pemohon prinsipal saat sidang perdana pengujian UU Pengadilan Pajak di ruang sidang MK, Rabu (12/2). Foto: Humas MK

Tiga hakim pengadilan pajak, Triyono Martanto, Haposan Lumban Gaol, dan Redno Sri Rezeki mempersoalkan konstitusionalitas mekanisme/proses pengangkatan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (2), UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Intinya, mereka menganggap kedua pasal itu bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 UUD Tahun 1945 terkait indepedensi kekuasaan kehakiman yang saat ini umumnya sudah satu atap di Mahkamah Agung (MA).     

 

“Norma a quo merugikan (para pemohon, red) karena pengangkatan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak yang diusulkan Menteri (Keuangan, red) dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menimbulkan masalah,” ujar salah satu pemohon, Haposan Lumban Gaol di ruang sidang MK yang diketuai Hakim Konstitusi Suhartoyo, Rabu (12/2/2020). Suhartoyo didampingi Manahan MP Sitompul dan Enny Nurbaningsih.   

 

Selengkapnya, Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak berbunyi, ”Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Sementara Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak berbunyi, “Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapatkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.”

 

Haposan menegaskan permohonan ini menyoal sistem pengangkatan dan pemberhentian ketua dan wakil ketua pengadilan pajak, terutama dalam hal independensi, kemerdekaan, dan kewibawaan hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa pajak. Menurutnya, UU Pengadilan Pajak tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai mekanisme penentuan calon ketua dan wakil ketua pengadilan pajak sebelum dimintakan persetujuan Ketua MA dan diusulkan kepada Presiden oleh Menteri Keuangan. 

 

Sejak ada pengadilan pajak pada 2002, mekanisme pengusulan calon ketua dan wakil ketua dilakukan secara berbeda. Misalnya, pernah dilakukan melalui mekanisme pemilihan dari dan oleh hakim untuk selanjutnya diusulkan kepada menteri keuangan. Pernah juga didasarkan atas usulan dari ketua periode sebelumnya menjelang masa pensiun.

 

“Dengan demikian, adanya inkonsistensi mekanisme pencalonan pimpinan pengadilan pajak tersebut tidak lepas dari tidak adanya pengaturan mekanisme pencalonan ketua dan wakil ketua,” ujar Haposan. Baca Juga: Persoalan Peradilan Pajak Layak Masuk RUU Omnibus Law Perpajakan

 

Para pemohon juga menyebutkan UU Pengadilan Pajak tidak menyertakan masa jabatan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak. Diakui para Pemohon fungsi pemimpin dalam suatu organisasi modern tidak dapat dibantah. Karena hal tersebut sangat penting bagi kemajuan organisasi. Sebagai sebuah organisasi publik, pengadilan pajak dipimpin oleh ketua dan wakil ketua pengadilan pajak dengan tugas dan kewenangan yang diatur dalam UU a quo.

Tags:

Berita Terkait