Yurisprudensi tentang Janji Menikahi yang Patut Direnungkan di Valentine Day
Utama

Yurisprudensi tentang Janji Menikahi yang Patut Direnungkan di Valentine Day

Pasangan yang ingkar janji dapat dihukum membayar ganti rugi. Ingkar janji menikahi ditegaskan sebagai perbuatan melawan hukum.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Perkawinan adalah kelanjutan dari ungkapan rasa cinta antara dua orang yang bertujuan membangun keluarga dan melanjutkan keturunan. Orang yang memutuskan untuk melangsungkan perkawinan atau pernikahan adalah mereka yang sudah mengikatkan janji sebelumnya.

 

Banyak peribahasa yang menunjukkan pentingnya memegang janji. Sekadar contoh, ada peribahasa Melayu ‘kaki bertarung, inai padahannya’ yang bermakna seseorang harus berani menanggung akibat janji yang diucapkan; atau peribahasa ‘kaki terdorong badan merasa, lidah terdorong emas padahannya’ yang bermakna segala janji harus ditepati.

 

Menepati janji adalah satu hal. Pertanyaan normatifnya, apakah janji menikahi itu harus diucapkan secara jelas, tegas, dan tertulis? Bagaimana jika janji itu tidak ditepati pada waktunya, apakah ada akibat hukum yang timbul? UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (kini sudah direvisi dengan UU No. 16 Tahun 2019) memperkenalkan dan memungkinkan dibuatnya perjanjian pranikah (prenuptial agreement).

 

(Baca juga: Plus Minus Putusan MK tentang Perjanjian Perkawinan)

 

Pada Bagian 2 BW diatur pula mengenai acara mendahului perkawinan, yaitu pengumuman rencana perkawinan. Tetapi Pasal 58 BW juga menyinggung tentang janji-janji menikahi (promises to marry). Berdasarkan pasal ini janji-janji menikahi tidak menimbulkan hak menuntut ke pengadilan untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak ada hak menuntut biaya, gantgi rugi, atau bunga akibat ingkar janji menikahi. Boleh ada permintaan ganti rugi jika terbukti sudah ada pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan kepada petugas Kantor Catatan Sipil, yang diikuti pengumuman rencana perkawinan oleh Kantor Catatan Sipil.

 

Dalam praktik, sudah ada beberapa putusan pengadilan Indonesia yang berkaitan dengan tidak terpenuhinya janji menikahi. Setidaknya putusan-putusan berikut layak direnungkan.

 

Gagal Menikah karena Calon Ditolak Keluarga (1986)

Peristiwa ini terjadi di Nusa Tenggara Barat, dan masuk ke pengadilan hingga ke Mahkamah Agung. Putusan ini dibacakan majelis hakim agung pada 8 Februari 1986. Pada intinya, apa yang dipersoalkan di persidangan adalah tidak terlaksanakanya janji menikahi yang diucapkan oleh seorang laki-laki berinisial IGLR kepada seorang perempuan berinisial MDI.

 

IGLR menyatakan cintanya kepada MDI dan berjanji akan menikahi perempuan asal Lombok Tengah itu. IGLR bukan saja mendatangi sekolah tempat MDI mengajar, tetapi juga mengucapkan janji akan menjadikan MDI sebagai isterinya. Sebagai bukti cinta dan kasih sayang, IGLR menyerahkan kartu taspen, kartu pegawai, dan sepeda motor baru. Cinta dan kasih sayang keduanya tumbuh sampai diwujudkan dalam bentuk hidup bersama selama lebih dari setahun. Biaya hidup bersama itu banyak ditanggung oleh MDI.

Tags:

Berita Terkait