Implementasi Deferred Prosecution Agreement di Indonesia dalam Sejumlah Kasus
Utama

Implementasi Deferred Prosecution Agreement di Indonesia dalam Sejumlah Kasus

Tidak semua perkara bisa diterapkan metode DPA di dalamnya.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pernahkah sebelumnya anda mendengar tentang Deferred Prosecution Agreement (DPA)? Konsep perjanjian penundaan penuntutan dalam perkara pidana ini telah lazim digunakan pada sejumlah negara penganut sistem hukum common law. Tujuannya tidak lain adalah untuk menggali potensi pendapatan negara dari kasus kejahatan korporasi tertentu. Populer di negara asalnya, DPA merupakan salah satu treatment penyelesaian perkara tindak pidana di sektor bisnis dengan menggunakan pendekatan analisis ekonomi.

 

Hal ini dimungkinkan karena menurut hukum di Amerika Serikat, selain terdiri atas orang perorangan dan badan hukum, aset atau harta kekayaan juga termasuk dalam subyek hukum di negara tersebut. Untuk itu, Department of Justice (DoJ) Amerika Serikat dimungkinkan melakukan penyitaan terhadap sejumlah aset yang berkaitan dengan kasus 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia, meskipun saat itu belum ditetapkan adanya tersangka dalam kasus tersebut. 

 

Terkait penyitaan ini, aparat penegak hukum di Indonesia sempat ikut dihebohkan karena salah satu aset dalam kasus ini, Yacht Equanimity milik miliyarder Malaysia, Jho Low yang bernilai Rp3,5 triliyun, saat tengah berlabuh di perairan Tanjung Benoa Bali ikut disita oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) yang bekerjasama dengan Bareskrim Mabes Polri, Februari 2018 silam.

 

Menurut Penulis Buku Deferred Prosecution Agreement Dalam Kejahtaan Bisnis, Asep Nana Mulyana, pengertian sederhana dari DPA adalah kewenangan yang ada pada Jaksa untuk melakukan penuntutan, namun sepakat untuk tidak melakukan penuntutan dengan berbagai syarat dan kriteria tertentu. Pertanyaannya adalah mungkinkah konsep ini diterapkan di Indonesia?

 

Dengan menjelaskan makna dari asas dominus litis yang memiliki arti Jaksa sebagai penguasa perkara, Asep menekankan bahwa konsep DPA dapat diterapkan di Indonesia. Terkait kewenangan Jaksa sebagai penuntut umum, Asep juga menjelaskan asas oportunitas yang memberikan sebuah hak prerogatif kepada Jaksa Agung untuk melanjutkan atau menghentikan jalannya proses sebuah perkara.

 

“Kita juga pernah merumuskan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013 (tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang) yang pada intinya merupakan mekanisme gabungan antara proses pidana dan perdata,” ujar Asep dalam sebuah diskusi, Senin (17/2), di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI).

 

Asep mengatakan preseden penerapan konsep DPA sebenarnya telah ada di Tanah Air. Ia mengungkapkan jika suatu ketika terjadi transaksi jual beli bawang putih antara entitas koporasi di Timur Tengah dengan entitas korporasi di Cina. Dalam proses pembayarannya, uang yang seharusnya masuk ke Cina dialihkan ke salah satu Bank plat merah di tanah air.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait