RUU Cipta Kerja Dinilai Lemahkan Perlindungan Lingkungan Hidup
Utama

RUU Cipta Kerja Dinilai Lemahkan Perlindungan Lingkungan Hidup

Karena mengubah/menghapus sejumlah ketentuan dalam UU No.32 Tahun 2009, diantaranya menghapus sanksi administratif; mengubah izin lingkungan jadi persetujuan lingkungan; menutup ruang partisipasi publik; menarik kewenangan pemerintah daerah; menghapus prinsip strict liability; mengedepankan sanksi administratif ketimbang pidana.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU. HGW
Ilustrasi pembahasan RUU. HGW

Pemerintah telah menyampaikan naskah akademik dan draft RUU Cipta Kerja ke DPR. Sejak awal penyusunan omnibus law RUU Cipta Kerja ini mendapat sorotan banyak pihak mulai dari kalangan organisasi masyarakat sipil, buruh, akademisi, hingga lembaga negara. RUU Cipta Kerja ini memuat 11 klaster, 15 bab, 174 pasal, 79 UU dengan 1.203 pasal yang terdampak. Dari 79 UU itu, salah satu UU yang terdampak yakni UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).    

 

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Hariadi Kartodihardjo menilai RUU Cipta Kerja ini melemahkan perlindungan lingkungan hidup seperti diatur UU No.32 Tahun 2009. Misalnya, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) diatur secara tidak tegas dalam RUU Cipta Kerja. Dalam UU No.32 Tahun 2009, UKL-UPL disebut bagian dari proses operasional kegiatan.

 

Hariadi menilai RUU Cipta Kerja menghapus jenis sanksi administratif yang sebelumnya sangat jelas tertuang dalam Pasal 76 ayat (2) UU No.32 Tahun 2009. Lalu, RUU Cipta Kerja ini menghapus “izin lingkungan” menjadi “persetujuan lingkungan” yang juga berdampak pada pelemahan. Padahal, izin lingkungan ini untuk memperkuat syarat analisis dampak lingkungan (amdal).

 

Selama ini izin lingkungan/izin usaha membuka ruang partisipasi masyarakat melalui gugatan ke PTUN jika izin yang diterbitkan ternyata melanggar aturan seperti diatur Pasal 93 UU No.32 Tahun 2009. Jika RUU Cipta Kerja ini disahkan, maka tertutup ruang bagi masyarakat sipil untuk mengajukan gugatan terhadap izin lingkungan yang diterbitkan pejabat terkait.

 

“Demi investasi, perlindungan (proteksi) terhadap lingkungan hidup dipertaruhkan,” kata Hariadi dalam diskusi di Jakarta, Senin (17/2/2020). Baca Juga: Ketentuan Pers dalam RUU Cipta Kerja Dinilai Mengkhawatirkan

 

Hariadi sendiri mencatat tidak sedikit ketentuan RUU Cipta Kerja yang menarik kewenangan pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Padahal, tidak semua urusan lingkungan hidup bisa ditarik ke tingkat pusat. Selama ini pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota punya kewajiban mengurusi soal lingkungan hidup, seperti kualitas udara, sampah, dan limbah termasuk limbah B3.

 

Jika semua urusan lingkungan hidup ditarik dari daerah ke pusat, Hariadi mempertanyakan, apakah pemerintah (pusat) mampu? Ketentuan ini akan mematikan sense of belonging pemerintah daerah terhadap lingkungan hidup di wilayahnya sendiri. Sebab, kewenangan ini dianggap sebagai urusaan pemerintah pusat. Misalnya, ketika terjadi kerusakan lingkungan hidup di suatu daerah, pemerintah daerah bisa saja berdalih itu kewenangan pemerintah pusat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait