Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Agraria
Utama

Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Agraria

KPA menilai RUU Cipta Kerja sektor agraria bertentangan dengan konstitusi (putusan MK), UU No.5 Tahun 1960, dan TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU. HGW
Ilustrasi pembahasan RUU. HGW

Belum lama ini, pemerintah telah menyerahkan RUU Cipta Kerja ke DPR. Materi muatan draft RUU Cipta yang menyasar banyak sektor ini terus mendapat sorotan dan kritik sejumlah elemen masyarakat. Salah satunya, menyasar sektor agraria dengan beberapa undang-undang (UU) terdampak yang substansinya mengalami perubahan/dihapus dalam RUU Cipta Kerja ini.     

 

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mencatat sedikitnya ada 8 UU terdampak terkait agraria yang masuk RUU Cipta Kerja, diantaranya UU No. 39 Tahun 2009 tentang Perkebunan; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sebab, pemerintah menganggap proses pengadaan tanah/lahan saat ini menghambat investasi, sehingga sejumlah regulasi itu perlu direvisi melalui mekanisme omnibus law.  

 

Dewi mencatat sedikitnya ada 5 masalah pokok RUU Cipta Kerja yang berpotensi buruk terhadap petani dan masyarakat hukum adat karena menghambat reforma agraria dan memperparah konflik agraria. Pertama, RUU Cipta Kerja memuat sejumlah pasal yang sebelumnya masuk dalam RUU Pertanahan. Seperti diketahui, RUU Pertanahan, 1 dari 4 RUU yang pernah ditunda pengesahannya pada DPR periode 2014-2019 lalu karena mendapat protes dari masyarakat. 

 

Substansi RUU Pertanahan yang masuk RUU Cipta Kerja, seperti munculnya hak pengelolaan lahan (HPL). Pasal 129 RUU Cipta Kerja menyebutkan HPL sebagai pemberian jenis hak di atas tanah negara. Melalui HPL, pemerintah seolah mau menghidupkan kembali domein verklaring yang berlaku pada masa kolonial, dimana tanah yang belum dilekati hak merupakan tanah negara. Padahal, konsep ini telah dihapus melalui UU No.5 Tahun 1960 dan putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 menegaskan hak menguasai dari negara (HMN) diartikan sebagai kebijakan pemerintah untuk mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi.

 

"Bukan berarti negara yang memiliki tanahnya," kata Dewi dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (20/2/2020). Baca Juga: Pencabutan Perda Lewat Perpres, Simak Putusan MK Ini!

 

Menurutnya, HPL merupakan jenis hak baru yang kuat dan luas karena dapat diberikan kepada instansi pemerintah, BUMN/BUMD, badan hukum yang ditunjuk pemerintah termasuk untuk dikelola bank tanah. Selain itu, kata Dewi, RUU Cipta Kerja mengatur HPL dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Ironisnya, HPL dapat diberikan untuk jangka waktu 90 Tahun sejak permohonan awal.

 

RUU Cipta Kerja kemudian menghapus Pasal 16 UU Perkebunan yang mewajibkan perusahaan perkebunan mengusahakan lahannya sesuai konsesinya. Jika aturan itu tidak dijalankan, bidang tanah yang belum diusahakan itu diambil alih oleh negara. Dengan dihapusnya pasal itu, Dewi menilai status tanah terlantar berpotensi hilang. Padahal tanah terlantar merupakan salah satu objek reforma agraria. Selain itu, status tanah terlantar merupakan salah satu syarat hapusnya HGU sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1960.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait