Sepakat Cidera Janji Debitur Terhadap Jaminan Fidusia, Begini Penjelasannya
Berita

Sepakat Cidera Janji Debitur Terhadap Jaminan Fidusia, Begini Penjelasannya

Ada cara lain yang dipandang sebagai solusi selain mutual agreement, yakni mencantumkan klausula negative confirmation dalam perjanjian kredit.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Hukumonline menggelar acara diskusi publik dengan mengangkat tema Wanprestasi dan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia: Best Practice setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 di Jakarta, Rabu (19/2). Foto: RES
Hukumonline menggelar acara diskusi publik dengan mengangkat tema Wanprestasi dan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia: Best Practice setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 di Jakarta, Rabu (19/2). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 mensyaratkan antara kreditur dan debitur untuk menyepakati terlebih dahulu adanya cidera janji sebelum kendaraan yang menjadi jaminan fidusia dieksekusi oleh kreditur atau perusahaan pembiayaan jika terjadi macet bayar. Jika tidak terbangun kesepakatan antara kedua belah pihak maka parate eksekusi tidak bisa dilaksanakan serta merta oleh kreditur karena harus melalui mekanisme gugatan perdata biasa di Pengadilan Negeri.

 

Hal ini tentu saja mengancam kesinambungan usaha perusahaan pembiyaan termasuk di dalamnya perbankan. Nilai jaminan yang setara dengan harga kendaraan bermotor dirasa tidak setimpal dengan proses pengadilan yang panjang serta memakan biaya. Untuk itu, sebagai upaya mencari jalan keluar dari situasi ini, sebagian kalangan memunculkan ide agar perjanjian fidusia antara kreditur dan debitur yang ditandatangani di awal proses juga menyertakan mutual agreement antara kreditur dan debitur.

 

Mutual agreement dirasakan perlu untuk menuangkan rancangan pengakuan debitur, jika suatu saat terjadi cidera janji atau wanprestasi maka kendaraan bermotor yang menjadi objek jaminan fidusia dapat diserahkan secara sukarela kepada kreditur.  

 

Notaris Ashoya Ratam mengungkapkan sebenarnya hal-hal yang dituangkan dalam perjanjian fidusia sudah cukup lengkap mengatur sejumlah persoalan yang memicu terjadinya wanprestasi. Artinya, persoalan wanprestasi antara perusahaan pembiayaan dengan debitur dalam rumusan perjanjian fidusia tidak hanya berupa macet pembayaran. Dengan begitu, jika kreditur menyatakan debitur melakukan wanprestasi, tidak mesti menunggu terlebih dahulu terjadi macet bayar oleh debitur.

 

“Hal yang dilarang sudah kita atur dalam perjanjian kredit. Hal yang wajib dilakukan juga sudah kita atur dalam perjanjian kredit. Banyak sekali yang sudah kita kunci dari sisi profesi kami,” ujar Ashoya dalam diskusi yang diselenggarakan hukumonline, Rabu (19/2), di Jakarta.

 

Ketua Umum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) ini merumuskan, mutual agreement antara kreditur dan debitur tentang kesepakatan penyerahan jaminan fidusia secara sukarela di depan, bersamaan dengan perjanjian fidusia agak suliit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan berdasarkan putusan MK, kesepakatan tersebut baru bisa dibangun paska terjadi macet bayar oleh debitur. 

 

(Baca: MK Tafsirkan Cidera Janji dalam Eksekusi Jaminan Fidusia)

 

Selain itu secara teknis penyusunan draft perjanjian, Ashoya melihat kesulitan yang sama untuk merumuskan kesepakatan cidera janji antara kreditur dengan debiitur di awal. “Yang saya maksudkan mutual agreement tidak dapat dicantumkan di awal itu adalah bahwa si debitur juga ikut mengatakan bahwa dia sudah cidera janji. Itu rasanya sulit buat kami merangkai kalimatnya,” ujar Ashoya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait