Omnibus Law dan Kebijakan Pidana
Kolom

Omnibus Law dan Kebijakan Pidana

RUU Omnibus Law yang memuat ketentuan pidana harus disikapi secara lebih terukur dan matang.

Bacaan 2 Menit
Umar Mubdi. Foto: Istimewa
Umar Mubdi. Foto: Istimewa

Pengaturan sanksi pidana bagi pengusaha adalah satu isu yang disoroti dalam demo buruh terhadap Omnibus Law beberapa waktu yang lalu. Menguatnya wacana pembentukan “Omnibus Law” itu sesungguhnya membawa diskursus yang lebih spesifik mengenai pengembanan hukum pidana (Meuwissen, 1979) berupa formulasi kebijakan pidana.

 

Salah satu poin utama dalam wacana tersebut adalah perampingan 82 undang-undang menjadi RUU Cipta Kerja. Hal itu menjadikan sanksi pidana yang sebelumnya tersebar di berbagai undang-undang mesti diformulasi ulang agar koheren. Selain itu, reformulasi juga diperlukan guna mendukung penegakan aturan-aturan administratif yang ada.

 

Namun demikian, formulasi norma pidana semacam itu sebagai strategi utama dalam pengendalian sosial membutuhkan aspirasi yang selektif dan terukur. Apabila elemen koersif di dalam hukum pidana guna menegakkan aturan hukum tidak diterapkan secara selektif dan terukur, justru akan menghasilkan ketidakadilan (Husak, 2004) karena akan terjadi penghukuman yang berlebih atau overcriminalization. Maka, hukum pidana bukan lagi sebagai obat terakhir (ultimum remedium) melainkan sebagai senjata utama (primum remedium).

 

Snapshot beberapa fenomena hukum yang berkelindan dengan kriminalisasi dan penalisasi itu antara lain UU No. 16 Tahun 2017 tentang Ormas di mana materi muatannya yang mengatur ketentuan pidana sempat memicu perdebatan. Selain itu, pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 46/PUU-XIV/2016 salah satunya berkutat pada apakah MK berwenang melakukan perluasan rumusan pasal yang menyangkut perzinahan dalam KUHP ataukah tidak.

 

Kemudian, dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, paling tidak ada 66 pasal yang memuat ketentuan pidana. Signifikansi penggunaan ketentuan pidana di dalam undang-undang diperkuat lagi oleh penelitian Anugrah Rizki Akbari (2015) bahwa sejak tahun 1998-2014 ditemukan 563 undang-undang yang disahkan dan 154 undang-undang di antaranya memuat ketentuan pidana.

 

Dengan demikian, diskursus mengenai kapan suatu ayat, pasal, atau perbuatan dapat dikenakan sanksi pidana menjadi penting dilakukan. Agar pengembanan hukum pidana pada masa yang akan datang dapat memenuhi tujuan konstitutifnya.

 

Empat Catatan

Berkaitan dengan itu, terdapat empat catatan penulis. Pertama, kebijakan pidana harus memperhatikan tujuan dari hukum pidana itu sendiri. Saat ini, tujuan dikenakannya pidana tidak boleh lagi dalam rangka pembalasan terhadap orang (dader) yang melakukan tindakan jahat. Melainkan hal itu disertai pula dengan tujuan rehabilitatif, edukasi, dan pencegahan.

Tags:

Berita Terkait