MA Imbau Advokat Beralih ke Sistem Peradilan Online
Utama

MA Imbau Advokat Beralih ke Sistem Peradilan Online

Jika tidak paham e-Court dan e-Litigasi, advokat akan tertinggal perkembangan.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber yang hadir dalam diskusi yang diselenggarakan MA: hakim agung Syamsul Ma'arif (kiri), Dirjen Badilum Prim Haryadi (nomor 2 dari kiri), Aco Nur (tengah), dan advokat Juniver Girsang (kanan). Foto: RES
Sejumlah narasumber yang hadir dalam diskusi yang diselenggarakan MA: hakim agung Syamsul Ma'arif (kiri), Dirjen Badilum Prim Haryadi (nomor 2 dari kiri), Aco Nur (tengah), dan advokat Juniver Girsang (kanan). Foto: RES

Peradilan modern berbasis daring atau online berlandaskan asas cepat, murah dan berbiaya ringan, kini tak lagi sebatas wacana. Tak sekadar urusan administrasi (e-court) yang terdiri dari e-flling, e-payment dan e-summons, sejak lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, kini dokumen replik, duplik, putusan atau pemeriksaan bukti dan saksi sudah bisa dilakukan secara online melalui teleconference. Perma terbaru itu menggantikan Perma No. 3 Tahun 2018, yang mengatur hal senada.

Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung, Prim Haryadi, menyebut sebanyak 382 Pengadilan Negeri sudah menggunakan sistem e-court dan e-litigasi. Cuma, untuk pemeriksaan saksi melalui teleconference, Prim mengakui belum semua Pengadilan menyediakan dan mempunyai fasilitas pendukung.

Begitu pula halnya dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan TUN MA, Lulik Tri Cahyaningrum, mengungkapkan sebanyak 50 persen dari 30 Pengadilan TUN sudah tak lagi terima perkara dengan skema konvensional. Para pihak sudah mulai ‘dipaksa’ untuk menggunakan e-court dan e-litigasi.

Dirjen Badan Peradilan Agama, Aco Nur, mengungkapkan sebanyak 38.787 perkara di lingkungan peradilan agama telah sukses menerapkan e-court dan sebanyak 1417 perkara diselesaikan melalui e-litigasi. Persoalannya, Perma No. 1 Tahun 2019 tidak menegaskan adanya ‘kewajiban’ para pihak untuk berperkara melalui e-court dan e-litigasi. Sehingga masih ada saja advokat yang belum memanfaatkan sistem e-court dan e-litigasi.

(Baca juga: Pesan Ketum Peradi-SAI Saat Penyumpahan Advokat Baru).

Menanggapi hal itu, Hakim Agung, Syamsul Ma’arif meminta Organisasi Advokat berbenah. Organisasi advokat harus mengimbau anggotanya melek teknologi dan beralih menggunakan e-court dan e-litigasi. Arah perkembangan sistem peradilan ke depan adalah penggunaan sistem daring. Perubahan Perma No. 1 Tahun 2019 kemungkinan akan mewajibkan pihak yang berperkara menggunakan e-court  dan e-litigasi. Mahkamah Agung akan melakukan pelatihan kepada para petugas pengadilan, termasuk hakim dan panitera. Untuk memulai rencana itu, pecan lalu, Mahkamah Agung sudah melakukan pelatihan tentang tanda tangan digital kepada para panitera. “Intinya akhir 2020 harus finish,” ujarnya dalam talkshow bertajuk e-Litigasi sebagai Wujud Modernisasi Pengadilan yang diselenggarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Jakarta, Selasa (25/02).

Syamsul membenarkan kemungkinan sistem e-court dan e-litigasi tak serta merta diterima oleh seluruh komponen advokat. Manakala intensitas advokat ke pengadilan berkurang, ada kemungkinan honorarium atau fee, terutama akomodasi, advokat berkurang. Sebaliknya, pencari keadilan yang memberi kuasa kepada advokat berpotensi diuntungkan, mengingat e-court membuka selebar-lebarnya informasi biaya perkara apa saja dan berapa yang harus dikeluarkan para pihak dalam satu persidangan.

Upaya menekan biaya perkara ini, Syamsul menjelaskan, berawal dari rendahnya peringkat kemudahan beracara di pengadilan berdasarkan survei World Bank. Elemen enforcing contract masih peringkat ke-146 di tahun 2019 dan ke-139 di tahun 2020. “Ibaratnya Indonesia dalam survei itu belum masuk kategori A+, masih C+,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait