MA Terbitkan Larangan Merekam dan Mengambil Foto Sidang
Berita

MA Terbitkan Larangan Merekam dan Mengambil Foto Sidang

Kebijakan ini dikecam karena mengancam kebebasan pers. Faktanya, pengadilan belum informatif.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Jurnalis ketika meliput sidang kasus narkoba artis Nunung dan suaminya. Foto: RES
Jurnalis ketika meliput sidang kasus narkoba artis Nunung dan suaminya. Foto: RES

Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum No. 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan. Surat Edaran Dirjen ini antara lain melarang pengunjung sidang untuk merekam suara, mengambil foto, dan rekaman audio visual pada saat persidangan tanpa seizin Ketua Pengadilan. “Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan,” demikian dikutip dari tulis poin 3 Surat Edaran tersebut.

Dibaca dari konsiderannya, SE larangan ini dilatarbelakangi anggapan bahwa penegakan aturan dalam menghadiri persidangan kurang berjalan sebagaimana mestinya. Pengunjung acapkali tidak tertib meskipun sudah ada tata tertib menghadiri persidangan. Selain, ada tindakan mengganggu persidangan yang dilakukan oknum tertentu. Salah satu yang mendapat perhatian publik adalah tindakan seorang pengacara yang mengayunkan ikat pinggang ke majelis hakim.  

Pertimbangan lain yang disinggung dalam SE adalah menjaga marwah pengadilan sehingga dibutuhkan suatu aturan untuk mengantisipasi gangguan terhadap jalannya persidangan.  SE ini bertujuan membangun kesamaan pemahaman dan cara pandangan khususnya bagi para aparat pengadilan dan pencari keadilan pada umumnya untuk mengikuti persidangan agar terlaksana persidangan yang efektif, aman, tertib dan bermartabat.

SE tidak mengatur bagaimana mekanisme memperoleh ketua pengadilan negeri. Misalnya, apakah cukup mendapatkan izin satu kali untuk persidangan kasus yang sama, atau harus mendapatkan izin setiap kali sidang; atau izin secara periodik misalnya berlaku setahun. Pengaturan ini penting karena imbas pelarangan ini bukan hanya terhadap pengunjung sidang pada umumnya tetapi juga jurnalis yang melakukan liputan dan keluarga terdakwa yang ingin mendokumentasikan persidangan. Apalagi, sudah jamak terjadi, advokat merekam persidangan untuk kepentingan pembelaan kliennya.

(Baca juga: Hakim Larang Siaran Langsung di Sidang Ratna Sarumpaet).

Itu sebabnya, kebijakan Mahkamah Agung tersebut langsung menuai kritik. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, menilai SE Dirjen Badan Peradilan Umum proses perekaman suara, televisi  atau pengambilan foto berpotensi menghambat kerja jurnalistik. Ia menyebut kebijakan ini tidak tepat karena pengadilan di Indonesia masih jauh dari kualifikasi informatif. Misalnya, pengunjung tidak mendapatkan resume perkara dan sketsa persidangan.

Kalaupun larangan diberlakukan, Ade meminta pengadilan negeri merujuk pada cara yang dilakukan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi menyediakan siaran langsung melalui televisi dan pengeras suara di luar sidang pengadilan sehingga siapapun tetap dapat menyaksikan proses persidangan, dan dapat mengetahui apa yang terjadi. Masalahnya, tidak ada fasilitas demikian di setiap pengadilan negeri, sehingga pilihannya adalah masuk dan melihat langsung di ruang persidangan, terkecuali sidang tertutup.

Model perizinan seperti diatur SE mengandung arti bahwa izin mungkin saja diberikan, mungkin juga tidak. Jika izin tidak diberikan, maka akses masyarakat terhadap informasi bisa terhambat. Masyarakat, terutama lembaga pemantau peradilan, akan sulit melakukan pengawasan terhadap jalannya persidangan. “Dampaknya adalah mantinya jurnalis tidak bisa menginformasikan kepada publik kasus-kasus yang kepentingan publiknya tinggi seperti kasus lainnya sehingga yang dirugikan publik karena tidak dapat informasi yang luas,” jelas Ade.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait