Beri Bantuan Hukum Pedagang Pasar, APPSI Gandeng KAI
Berita

Beri Bantuan Hukum Pedagang Pasar, APPSI Gandeng KAI

Karena banyak persoalan hukum yang kerap dialami para pedagang pasar yang membutuhkan bantuan, seperti konsultasi, advokasi/bantuan hukum, hingga pengurusan perizinan dalam berusaha.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
 Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto berjabat tangan dengan Ketua Umum APPSI Ferry Juliantono usai penandatanganan kerja sama konsultasi dan bantuan hukum di Jakarta, Kamis (27/2). Foto: RFQ
Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto berjabat tangan dengan Ketua Umum APPSI Ferry Juliantono usai penandatanganan kerja sama konsultasi dan bantuan hukum di Jakarta, Kamis (27/2). Foto: RFQ

Para pedagang pasar kerap menghadapi persoalan hukum saat menjalankan usaha, sehingga advokasi dan bantuan hukum dirasakan perlu agar adanya jaminan perlindungan hukum bagi para pedagang pasar. Untuk itu, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) melakukan kerja sama dengan Kongres Advokat Indonesia (KAI) dalam pemberian konsultasi dan bantuan hukum bagi komunitas pedagang pasar.

 

Ketua Umum APPSI Ferry Juliantono menilai sebagai organisasi advokat, KAI memiliki jaringan luas dan anggotanya di seluruh pelosok Indonesia. APPSI pun memiliki anggota pedagang tradisional yang tersebar di seluruh Indonesia. Meski telah memiliki lembaga bantuan hukum, APPSI memiliki keterbatasan untuk menjangkau para pedagang di seluruh Indonesia ketika berhadapan dengan masalah hukum.

 

“Kerja sama ini dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) antar kedua belah pihak. Harapannya para pedagang anggota APPSI memperoleh edukasi hukum, bantuan hukum, hingga konsultasi hukum. Kita informasikan ke seluruh teman-teman pedagang anggota APPSI bila membutuhkan bantuan hukum dan pembelaan, bisa ke KAI,” ujar Ferry Juliantono kepada Hukumonline di Jakarta, Kamis (27/2/2020).

 

Dia menerangkan berbagai permasalahan kerap dihadapi pedagang. Pertama, pedagang pasar memiliki persaingan dengan ritel modern yang memiliki aturan dalam usahanya, seperti peraturan menteri perdagangan. Namun ironisnya, aturan-aturan tersebut justru ditabrak oleh perusahaan ritel. Seperti, jarak atau zonasi minimal yang dipersyaratkan membangun usaha ritel modern minimal jarak 500 meter dengan keberadaan pasar rakyat atau tradisional.

 

Faktanya, terkadang ritel modern malah bersebelahan dengan pasar rakyat. Tentu hal tersebut merugikan para pedagang pasar. “Tanpa harus kita sebut namanya,” kata dia.

 

Kedua, terkait keberadaan pasarnya. Menurutnya, letak pasar berada di tempat strategis. Namun, ada kepentingan tertentu berupaya menggesernya dengan cara pembongkaran secara paksa atau halus. Contohnya, ada pasar di Jakarta yang pedagangnya sudah ditampung di tempat sementara, namun pembangunan pasarnya tak kunjung dibangun.

 

Ketiga, karena lokasinya strategis, pasar rakyat/tradisional dianggap kurang dapat diintegrasikan dengan kegiatan yang dinilai modern. Tak sedikit pula pasar-pasar terbakar di banyak tempat. Pihaknya pun mendorong berbagai pihak untuk menyelidiki lebih jauh terbakarnya banyak pasar rakyat/tradisional. “Sebenarnya sebab kebakaran ini karena bencana atau karena rencana? Itu harus diselidiki,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait