Omnibus Law Tak Sentuh Akar Persoalan Hiperregulasi
Berita

Omnibus Law Tak Sentuh Akar Persoalan Hiperregulasi

Seharusnya pemerintah membangun sistem manajemen regulasi nasional.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Pemerintahan Presiden Jokowi mengajukan konsep Omnibus Law ke DPR Foto: RES
Pemerintahan Presiden Jokowi mengajukan konsep Omnibus Law ke DPR Foto: RES

Ratusan, bahkan mungkin ribuan, peraturan perundang-undangan lahir setiap tahun. Mulai dari peraturan perundang-undangan tingkat pusat hingga ke desa-desa. Presiden punya kewenangan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Perpres; sementara para pembantunya yang tersebar di 22 Kementerian juga berwenang menerbitkan Peraturan Menteri (Permen). Belum lagi peraturan di level daerah provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia. Tidak mengherankan jika banyak yang menyebut Indonesia mengalami hiperregulasi atau obesitas peraturan.

Selain menghadapi persoalan hiperregulasi, Indonesia tak memiliki jaminan atau mekanisme yang memastikan bahwa setiap regulasi memiliki kualitas yang baik. Jaminan kualitas itu seharusnya dapat dijaga melalui sistem manajemen regulasi nasional. Rencana pembentukan Badan Pusat Legislasi Nasional (BPLN) sejatinya diarahkan pada sistem manajemen regulasi (regulatory management system)tadi. Cuma, saat ini Pemerintah lebih memilih memperkenalkan Omnibus Law ketimbang membangun sistem manajemen regulasi nasional.

Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, berpendapat bahwa opsi omnibus law sebenarnya tidak menyentuh akar persoalan regulasi di Indonesia. Pendekatan yang digunakan tidak untuk jangka panjang. Penghapusan, pencabutan, atau pembatalan pasal-pasal dari 80-an Undang-Undang mungkin saja memperbaiki keadaan dalam jangka pendek. Tetapi dalam jangka panjang justru dapat menimbulkan persoalan. “Akar masalahnya malah tidak disasar dan omnibus tidak mampu mencapai itu,” kata Bibip, sapaan Bivitri, dalam diskusi Setting and Appraising Regulatory Institution, di Jakarta, Jumat, (28/02).

Hal itu diamini seorang penasehat regulasi, Cesar Cordova, yang diketahui pernah terlibat sebagai penasehat sebanyak 45 negara dalam melakukan reformasi regulasi. Menurutnya, hal terpenting dalam reformasi regulasi adalah kualitas substansi regulasi. Kualitas itu, katanya, tak akan pernah dapat terwujud tanpa adanya sistem manajemen regulasi (SMR) yang baik.

“SMR inilah yang seharusnya menjadi watchdog untuk mengontrol kualitas regulasi. Banyak negara juga mengalami tumpang tindih aturan. Bila tidak ada SMR, mereka tak akan bisa menyelesaikan masalah itu,” tukas Cordova dalam diskusi yang sama.

Berikut ini beberapa aturan mengenai SMR di sejumlah negara.

Hukumonline.com

Cesar mengatakan terlalu banyak regulasi justru akan membunuh (kualitas) regulasi itu sendiri. Simplifikasi regulasi melalui omnibus law dengan tetap membiarkan begitu banyaknya Kementerian yang juga bisa mengeluarkan aturan sendiri jelas akan membuat masalah berlanjut tak berkesudahan. Ia menyarankan agar Indonesia membentuk SMR dan mengisinya dengan para ahli, guru besar, dan praktisi terkemuka untuk mengkaji setiap kualitas aturan yang hendak dikeluarkan.

“Memang akan cukup mahal membayar orang yang berkualitas. Tapi regulasi yang dihasilkan tentu akan sangat berkualitas pula. Indonesia dengan 22 Kementrian yang bisa mengeluarkan regulasi saya fikir begitu gemuk,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait