Sidang In Absentia Tak Boleh Serampangan
Utama

Sidang In Absentia Tak Boleh Serampangan

KPK ingin menggunakan sidang in-absentia. Meski ada payung hukumnya dan dapat dibenarkan secara hukum, rencana tersebut dikritik.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Foto: RES
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi membuka peluang menggunakan sidang tanpa kehadiran terdakwa, atau lazim disebut sidang in absentia. Sidang ini dapat digelar jika berkas perkara sudah lengkap dan dilimpahkan sementara terdakwa tidak dapat dihadirkan ke persidangan. Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, menyampaikan wacana sidang in absentia menyusul kegagalan menangkap beberapa orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Sejauh ini, KPK belum berhasil menangkap politisi PDI Perjuangan, Harun Masiku, mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiono, dan pengusaha Hiendra Soenjoto. KPK sudah melakukan penggeledahan di beberapa tempat, dan memeriksa orang-orang dekat para tersangka, toh hingga kini belum berhasil melakukan penangkapan. Itu sebabnya, KPK mewacanakan sidang in absentia.

Rencana KPK itu langsung menuai kritik. Sidang in absentia memang dimungkinkan. Tetapi bagi sejumlah kalangan, jika itu dilakukan sama saja memperlihatkan kemunduran KPK dalam pencarian orang yang sudah dinyatakan tersangka. Kritik datang dari Kurnia Ramadhana, misalnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu berpandangan langkah KPK tak tepat. Pasalnya KPK masih memiliki waktu melakukan pencarian Harun Masiku. Harun bak hilang ditelan bumi setelah pulang dari Singapura. Tersangka kasus suap komisioner KPU Wahyu Setiawan itu kini tak jelas dimana. Padahal berkas perkara Wahyu sendiri akan dilimpahkan ke pengadilan. Bagi Kurnia, KPK sedianya memiliki tambahan energi mengejar keberadaan Harun Masiku setelah menggandeng Polri.

Kurnia tak menampik keinginan KPK menyidangkan orang-orang yang buron secara in absentia punya dasar hukum. Tindakan itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 38 ayat (1) menyebutkan, “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”.

Namun Kurnia mengingatkan penerapan Pasal 38 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tak dapat digunakan sembarangan. Ada syarat yang harus dipenuhi. “Pasal ini dapat digunakan dengan syarat khusus yakni penegak hukum harus benar-benar bekerja untuk menemukan para buronan,” ujarnya kepada hukumonline, Sabtu (7/3).

(Baca juga: Enam Masalah Hukum Putusan Desersi Secara In Absentia).

Kendati begitu, KPK dinilai belum tepat menerapkan persidangan in absentia terhadap Harun Masiku, Nurhadi, Rizky dan Hiendra. Kurnia beralasan bahwa publik tak melihat  adanya keseriusan dan kemauan dari pimpinan KPK untuk menemukan dan menangkap para tersangka suap menyuap itu. ‘Jadi, kita curiga pimpinan  KPK melemparkan isu in absentia untuk Harun dan Nurhadi hanya untuk menunjukkan kepada publik seakan-akan KPK sudah melakukan banyak hal, padahal sebaliknya,” katanya.

Tags:

Berita Terkait