Cerita di Balik Perumusan Pasal 170 RUU Cipta Kerja
Utama

Cerita di Balik Perumusan Pasal 170 RUU Cipta Kerja

Omnibus law tidak demokratis dalam segi politik karena proses pembentukannya yang tidak berimbang, hanya menggunakan sudut pandang tertentu.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pemerintah telah menyerahkan Draft Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk selanjutnya dilakukan pembahasan oleh DPR. Salah satu hal menarik yang menjadi catatan adalah terkait substansi pasal 170 RUU Cipta Kerja yang dipandang kebanyakan kalangan merupakan cara pemerintah mengambil kewenangan DPR dalam pembuatan Undang-Undang.

 

Pasal 170 RUU Cipta Kerja menyatakan "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini”. 

 

Menurut anggota tim ahli perumus omnibus law, Ahmad Redi, rumusan pasal 170 yang sempat ramai dibicarakan publik sama sekali tidak terdapat unsur salah ketik di dalamnya. Bahkan Redi menyebutkan bahwa ketika merumuskan pasal 170 RUU Cipta Kerja, pihaknya melakukan hal tersebut dengan penuh kesadaran.

 

“Dalam perumusannya, pasal tersebut dibuat dengan sadar sehingga tidak ada unsur salah ketik,” ujar Redi dalam sebuah diskusi tentang Rambu-Rambu Konstitusi dalam Wacana Omnibus Law, Kamis (5/3), di Jakarta.

 

Hal ini disampaikan Redi menjawab sejumlah klarifikasi yang datang dari pihak pemerintah tentang adanya kemungkinan kesalahan ketik ketika merumuskan bunyi pasal 170. Menurut Redi, saat itu anggota tim perumus berfikir tentang bagaimana memberikan kewenangan lebih kepada presiden mewujudkan kelancaran iklim berusaha dan investasi di Indonesia. 

 

“Kita (tim perumus berikir) butuh Presiden (bisa) melakukan akrobasi kebijakan untuk peningkatan investasi,” terang Redi.

 

Menurut Redi, karena alasan tersebut kemudian Pasal 170 dirumuskan. Ia menggambarkan bagaimana perdebatan seru yang terjadi pada saat perumusan pasal ini. Redi mengakui, dirinya termasuk orang yang tidak menyepakati rumusan pasal tersebut. Karena menurut Redi, ketentuan yang mengatur Peraturan Presiden dapat mengubah UU tidaklah dimungkinkan. “PP haram hukumnya mengotak-atik atau mengubah Undang-Undang,” ungkap Redi.

Tags:

Berita Terkait