Omnibus Law Dianggap Cederai Sejarah Paten
Utama

Omnibus Law Dianggap Cederai Sejarah Paten

Pasal yang bakal dihapus adalah ruh dari UU Paten.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi transfer teknologi dalam paten. Ilustrator: BAS
Ilustrasi transfer teknologi dalam paten. Ilustrator: BAS

RUU Cipta Kerja bakal berimbas pada banyak aspek, bukan hanya perizinan dan ketenagakerjaan, tetapi juga regulasi kekayaan intelektual. Dampak terhadap kekayaan intelektual belum banyak dilihat, padahal jika draf yang ada sekarang diberlakukan, imbasnya sangat besar. Lihat misalnya penghapusan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.

Pasal 20 UU Paten menyebutkan Pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia. Membuat produk atau menggunakan proses harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja.

Pasal 110 RUU Cipta Kerja tegas-tegas menyebutkan Pasal 20 UU Paten dihapuskan. Alasannya karena kewajiban transfer teknologi kewajiban membuat produk di Indonesia menghambat investasi asing. Pemerintah menerima keluhan dari pengusaha asing mengenai kewajiban paten di Indonesia. Selain itu, ketentuan UU Paten tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 27 Perjanjian TRIPs (Agreement on Trade-Related  Aspects of Intellectual Property Rights). Perjanjian ini berlaku untuk semua anggota organisasi perdagangan dunia (WTO), termasuk Indonesia.

Tanda-tanda ‘pencabutan nyawa’ Pasal 20 UU Paten sebenarnya sudah dimulai ketika Menteri Hukum dan HAM memberlakukan Permenkumham No. 15 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemegang Paten. Pasal 3 Permenkumham ini memberi kelonggaran bagi pemegang paten. Jika belum dapat melaksanakan patennya di Indonesia, maka Pemegang Paten dapat menunda pelaksanaan pembuatan produk atau penggunaan proses paten di Indonesia paling lama lima tahun dengan mengajukan permohonan kepada Menteri.

Kini, RUU Cipta Kerja berusaha menguatkan penghapusan Pasal 20 UU Paten. Gagasannya juga pernah disinggung Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly ketika menerima kunjungan duta besar dari negara-negara Uni Eropa pada 14 Januari tahun lalu. Dalam kesempatan itu, Yasonna menyebut kewajiban pembuatan produk di Indonesia berikut kewajiban transfer teknologi dan penyediaan lapangan kerja telah memberatkan para investor. “Sambil menunggu mengubah UU ini melalui Parlemen kami (Omnibus), saya telah menerbitkan Peraturan Menteri No. 15 Tahun 2018 tentang penundaan Pasal 20 ini,” ujarnya dilansir dari laman resmi resmi DJKI.

(Baca juga: Melacak Kembali Konsep Hak Kekayaan Intelektual).

Merujuk Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, ada 7 alasan mengapa pemerintah ingin mencabut Pasal 20 UU Paten. Pertama, perlu ada fleksibilitas kewajiban membuat produk dalam kaitannya dengan paten dan transfer teknologi. Kedua, Pasal 20 UU Paten melanggar TRIPs Agreement. Ketiga, pelanggaran Pasal 20 UU Paten dapat berakibat pada pencabutan paten. Keempat, ketentuan Pasal 20 UU Paten tak dapat diterapkan untuk semua jenis teknologi. Kelima, kewajiban transfer teknologi dan proses paten menurunkan investasi. Keenam, dalam praktik sulit dijalankan. Ketujuh, transfer teknologi susah dipraktikkan di dalam negeri.

Hukumonline.com

Dikritik

Rencana Pemerintah menghapuskan Pasal 20 UU Paten mendapat kritik akademisi. Dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Bambang Kesowo, pernah menuliskan artikel di harian Kompas yang mengkritik gagasan itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait